Rabu, 04 Agustus 2010

Peran Pemerintah Daerah dalam Iplementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan ke Hadhirat Tuhan Yang Maha Esa, Karena atas Taufik dan Hidayah-Nya jualah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami mengharapkan dengan makalah ini, para guru dan kepala sekolah menjadi lebih mudah untuk mengerti dan memahami prinsip-prinsip manajemen sekolah, terutama yang berkaitan dengan peran pemerintah daerah tingkat II dalam pengelolaan Manajemen Berbasis Sekolah.
Namun, kami menyadari makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu kami berharap kepada para pembaca, khususnya stakeholders yang terlibat dalam manajemen Sekolah Dasar, untuk memberikan masukan berupa kritikan dan saran bagi perbaikan makalah ini pada masa yang akan datang.
Akhirnya, kami mengharapkan pula. Semoga makalah ini dapat mencapai maksud dan tujuan yakni dapat memberikan sekelumit sumbangan berharga bagi proses pengelolaan pendidikan terutama bagi Sekolah Dasar.



Wassalam


BAB I
PENDAHULUAN

Model MBS di Indonesia muncul akibat perubahan politik dan krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis sosial politik yang berdampak kepada perubahan dalam manajemen pendidikan, di samping perlunya peningkatan mutu pendidikan yang sampai saat ini masih kurang menggairahkan. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan memberdayakan sekolah dengan memberikan kewenangan (delegation of authority) kepada sekolah untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas secara berkelanjutan (quality continuous improvement). Manajemen sekolah ini sebagai hasil perubahan politik bertujuan pula untuk meredesain pengelolaan sekolah dengan mengubah sistem pengambilan keputusan yang semula menjadi wewenang tingkat pusat dipindahkan otonominya ke tingkat sekolah.
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di negara kita tidak seluruh masalah pendidikan menjadi wewenang dan tanggung jawab sekolah, namun terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan sekolah dalam mengelola pendidikan. Di negara kita, MBS tidak diartikan sebagai otonomi penuh sekolah karena terdapat visi dan misi yang perlu dipertahankan untuk menjadi persatuan dan kesatuan, termasuk standar mutu pendidikan.
Pembagian kekuasaan ini mutlak dilaksanakan mengingat wilayah nagara kita yang luas dan beragam, aneka ragam golongan dan lingkungan (sosial, budaya, agama, ras, etnik, serta bahasa), besarnya jumlah dan banyaknya jenis populasi pendidikan yang tumbuh sesuai dengan perkembangan ekonomi, iptek, dan sosial budaya yang cepat dan dinamis menuntut penanganan segala persoalan secara cepat, tepat, dan dinamis.
Sistem berbagi kekuasaan (power sharing) antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pengelolaan sekolah perlu ditata secara rapi. Dalam hal ini aturan-aturan dalam manajemen pendidikan perlu ditinjau kembali. Perlu dilakukan perubahan yang sangat mendasar terhadap paradigma pembinaan sekolah. Paradigma input-output-production fungction (dengan input yang baik secara otomatis mutu output akan baik) maka dengan MBS, sekolah dipandang sebagai suatu unit manajemen yang utuh dan memerlukan perlakukan khusus dalam upaya pengembangannya. Perlakuan khusus ini akan berbeda untuk setiap sekolah. Itulah hal yang melandasi keyakinan bahwa pengambilan keputusan dalam merancang dan mengelola pendidikan seharusnya dilakukan di tingkat sekolah. Prioritas alokasi sumber-sumber daya dan kebijakan pemerintah harus dilakukan oleh pengelola di tingkat sekolah. Namun demikian, sekolah tidak memiliki kapasitas untuk berjalan sendiri tanpa menghiraukan kebijakan, prioritas, dan standardisasi yang diamanatkan pemerintah dan telah ditentukan secara demokratis atau politis (Tim Teknis BPPN bekerja sama dengan Bank Dunia, 1995).


BAB II
PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM IMPLEMENTASI MBS

A.      Pembagian Kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan pengalihan dalam pengambilan keputusan dari tingkat pusat ke tingkat sekolah. Pemberian kewenangan dalam pengambilan keputusan dipandang sebagai otonomi di tingkat sekolah dalam pemberdayaan sumber-sumber sehingga sekolah mampu secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, memanfaatkan, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan (akuntabilitas) setiap kegiatannya kepada setiap yang berkepentingan (stakeholders).
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang merupakan terjemahan School Based Management adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk merancang kembali pengelolaan sekolah dengan memberikan kewenangan kepada sekolah dan meningkatkan partipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. Hal ini sebagai wujud reformasi pendidikan yang menginginkan adanya perubahan dari kondisi yang kurang baik menuju kondisi yang lebih baik. Penempatan kewenangan kepada sekolah dan masyarakat untuk menghindari format sentralisasi dan birokratisasi yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi manajemen sekolah. Pergeseran penempatan kewenangan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari pembagian kekuasaan antar pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, perlu penataan yang hati-hati, tersistem, berlandaskan semangat kerja sama, dan konsistensi dalam menjalankan kewajiban, kewenangan, dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Perumusan visi dan strategi nasional pendidikan, kurikulum nasional, publikasi buku-buku pelajaran tertentu, dan pertanggung jawaban dalam mutu edukatif merupakan kewajiban pemerintah pusat. Sementara itu Pemerintah Daerah (Pemda), diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan pembinaan sumber daya manusia (SDM) termasuk kepala sekolah dan guru, mengatur rekruitmen, pengangkatan dan penempatan, pengembangan karier, pemindahan kompensasi, kenaikan pangkat, dan pemberhentian guru/kepala sekolah.
Konsekuensi logis dari adanya limpahan kewenangan tersebut adalah Pemda juga harus diberi kewenangan dalam mencari, mempergunakan, dan menyediakan fasilitas yang diperlukan. Di samping itu, Pemda berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

B.    Partisipasi Pemerintah Daerah dalam MBS
Sehubungan dengan kondisi birokrasi dan kondisi persekolahan di Indonesia saat ini, peran Pemerintah Daerah dalam implementasi MBS bagi sekolah-sekolah saat ini sangat besar. Persiapan strategi penerapan konsep Manajemen Berbasis Sekolah harus dilakukan dengan bertahap. Persiapan ini sebagai realisasi kebijakan desentralisasi di bidang pendidikan memerlukan perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai aspek seperti aspek keuangan, aspek ketenagaan, aspek sarana dan prasarana sekolah, aspek kurikulum dan materi, aspek pengujian, serta aspek partisipasi masyarakat.
Tahapan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah meliputi beberapa aspek antara lain :
1.        Aspek keuangan
a.        Tahap pertama
Keuangan atau dana dari pemerintah yaitu berasal dari anggaran rutin pemerintah. Penetapan alokasi anggaran di tingkat pemerintah daerah propinsi (Dati I) berdasarkan alokasi besaran dari pemerintah pusat.
Dana bantuan dalam Block Grant  yaitu dana dari anggaran pembangunan untuk bantuan operasional sekolah, pengadaan gedung, dan pengadaan laboratorium untuk tingkat SD diberikan oleh Pemda Tingkat I, sedangkan tingkat SLTP diberikan oleh pemerintah pusat. Dana Block Grant diberikan langsung ke sekolah. Bantuan pemerintah untuk sekolah swasta disesuaikan dengan kemampuan pemerintah.
Dana dari orang tua atau masyarakat masih ada yang diwajibkan membayar ke sekolah.
b.        Tahap kedua
Penentuan alokasi di tingkat pemerintah kabupaten (Dati II) berdasarkan alokasi besaran dari pemerintah pusat (khusus gaji tenaga kependidikan).
Dana anggaran pembangunan untuk bantuan operasional sekolah, pengadaan gedung, dan pengadaan laboratorium semuanya diberikan dalam bentuk Block Grant yang diterimakan secara langsung ke sekolah-sekolah. Sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola anggaran tersebut dengan sepengetahuan Dewan Sekolah. Pengelolaan dana ini juga akan diikuti dengan sistem pengawasan yang intensif. Bantuan Block Grant untuk sekolah swasta disesuaikan dengan kemampuan negara.
Ada kesepakatan secara demokratis antara orang tua dan sekolah apabila orang tua  dikenakan suatu biaya untuk anaknya. Sedangkan sumbangan sukarela tergantung ketersediaan sumber daya di masyarakat. Keberadaan dana ini sangat berbeda antara satu sekolah dengan lainnya. Bahkan, sekolah dengan kemampuan manajemen rendah, mungkin sekali tidak memiliki sumber dana ini. Pengelolaan dana ini harus sepengetahuan Dewan Sekolah.
c.        Tahap ketiga
Dana keuangan diberikan dalam bentuk Block Grant pemerintah Dati II. Pemerintah Daerah Tingkat II mengalokasikan ke sekolah sesuai dengan jumlah guru dan kepangkatan guru.
Dana anggaran pembangunan untuk bantuan operasional sekolah, pengadaan gedung, dan pengadaan laboratorium semuanya diberikan dalam bentuk Block Grant yang diterimakan secara langsung ke sekolah-sekolah. Sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola anggaran tersebut dengan kontrol dari Dewan Sekolah. Pengelolaan dana ini juga akan diikuti dengan sistem pengawasan yang intensif. Sekolah dengan kemampuan manajemen rendah memperoleh dana lebih besar dari sekolah dengan kemampuan manajemen sedang, dan sekolah dengan kemampuan manajemen sedang menerima dana lebih besar dari sekolah berkemampuan manajemen tinggi. Bantuan Block Grant untuk sekolah swasta semakin meningkat disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.
Ada kesepakatan secara demokratis antara orang tua dan dewan sekolah apabila orang tua dikenakan suatu biaya untuk anaknya. Sedangkan sumbangan sukarela tergantung ketersediaan sumber daya di masyarakat. Keberadaan dana ini sangat berbeda antara satu sekolah dengan lainnya. Bahkan, sekolah dengan kemampuan manajemen rendah, mungkin sekali tidak memiliki sumber dana ini. Pengelolaan dana ini harus sepengetahuan Dewan Sekolah dan disertai pengawasan dari pengawas yang ditentukan oleh pemerintah daerah      tingkat II.

2.        Aspek ketenagaan
a.        Tahap pertama
Sejumlah kepala sekolah dipilih dari semua katagori sekolah di tingkat pendidikan dasar untuk mengikuti pelatihan tentang prinsip-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan pengelolaan keuangan sekolah dengan prinsip MBS yang dilakukan secara bertahap untuk menjaring sebanyak mungkin kepala sekolah.
Di tingkat SD, guru diseleksi dan diangkat oleh pemerintah daerah tingkat I (Dati I). Untuk guru SLTP diseleksi oleh pemerintah pusat sedangkan pengangkatan dan penempatan dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat I (Dati I). Penempatan guru disesuaikan dengan kebutuhan sekolah dan diberlakukan insentif dan disinsentif terhadap sekolah yang memiliki kelebihan dan kekurangan guru. Guru memperoleh insentif sesuai dengan prestasinya. Guru wajib menguasai prinsip-prinsip MBS.
Pengawas dan Kepala Dinas diberikan pelatihan tentang prinsip-prinsip MBS, profesionalisasi pengawas/pimpinan dan staf Dinas Pendidikan.
b.        Tahap kedua
Kepala sekolah yang belum menerima pelatihan akan dilatih tentang prinsip-prinsip dasar MBS dan bagi kepala sekolah yang sudah dilatih akan diberikan pelatihan lanjutan. Kepala sekolah memiliki keleluasaan dalam mengatur sekolah, antara lain mengatur dana, mengisi kurikulum lokal jika sekolah tersebut mampu.
Seleksi guru SD dan SLTP dilaksanakan oleh pemerintah daerah tingkat I, sedangkan pengangkatan dan penempatan dilaksanakan oleh pemerintah daerah tingkat II. Pemilihan guru SD maupun SLTP didasarkan pada kompetensi.
Pengawas dan Kepala Dinas diberikan pelatihan lanjutan tentang prinsip-prinsip MBS, profesionalisasi pengawas/ pimpinan dan staf Dinas Pendidikan.
c.        Tahap ketiga
Ada kewenangan yang luas bagi kepala sekolah dalam rangka kebijakan nasional. Pemilihan kepala sekolah dilakukan ole Dewan Sekolah (School Council) dengan memepertimbangkan kompetensinya yakni meliputi keterampilan, pengalaman, kepemimpinan, kemampuan dalam menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi, dan bersipat proaktif.
Seleksi, pengangkatan, dan penempatan dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat II berdasarkan kompetensi. Penempatan guru sesuai dengan kebutuhan sekolah. Insentif dan disensitif diberlakukan terhadap sekolah yang memiliki kelebihan dan kekurangan guru. Guru memperoleh insentif sesuai dengan prestasinya dan guru wajib menguasai prinsip-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Pengawas dan Kepala Dinas diberikan pelatihan lanjutan tentang prinsip-prinsip MBS, profesionalisasi pengawas/ pimpinan dan staf Dinas Pendidikan.

3.        Aspek sarana dan prasarana sekolah.
a.        Tahap pertama
Pada tahap ini, identifikasi, penataan ulang, pengadaan sarana dan prasarana sekolah sepenuhnya dikelola oleh pemerintah daerah tingkat II.
b.        Tahap kedua
Pengadaan sarana dan prasarana di tingkat sekolah.
c.        Tahap ketiga
Pengadaan sarana dan prasarana di tingkat sekolah.

4.        Aspek kurikulum dan materi
a.        Tahap pertama
Kurikulum dan materi pembelajaran disusun di tingkat pusat sebesar 80%, sedangkan 20% diserahkan ke daerah dalam bentuk kurikulum lokal.
b.        Tahap kedua
Kurikulum inti (80%) disusun dipusat untuk dilaksanakan di seluruh Indonesia. Sekolah memiliki kelenturan dalam mengalokasikan waktu belajar. Sekolah boleh menambah atau mengurangi jam mata pelajaran tertentu. Kurikulum muatan lokal (20%) disusun ditingkat sekolah berdasarkan potensi lingkungan setempat atau disediakan oleh pemerintah daerah tingkat II bagi sekolah yang tidak mampu menyusun sendiri. Isi kurikulum bervariasi antara satu sekolah dengan sekolah yang lain.
c.        Tahap ketiga
Kurikulum inti (standar kompetensi minimal) disusun pemerintah pusat dalam rangka menjaga kualitas pendidikan dan kesatuan bangsa untuk dilaksanakan di seluruh Indonesia. Waktu belajar boleh ditambah, namun tidak boleh dikurangi. Pedoman Kurikulum Efektif (termasuk muatan lokal) disusun ditingkat pusat sedangkan materinya ditentukan/dipilih pemerintah daerah tingkat II atau di tingkat sekolah dengan mempertimbangkan kondisi setempat. Waktu belajarnya boleh dikurangi untuk menambah waktu pelaksanaan kurikulum inti.

5.        Aspek partisipasi masyarakat
a.        Tahap pertama
Masyarakat diberi pemahaman mengenai prinsip-prinsip MBS melalui sosialisi menggunakan media massa dan forum lainnya. Bentuk partisifasi masyarakat melalui BP3.
b.        Tahap kedua
Partisipasi masyarakat masih berbentuk BP3 namun fungsinya bertambah yakni ikut menyusun kurikulum lokal bersama sekolah, mengawasi penggunaan dana sekolah dan dana dari masyarakat.
c.        Tahap ketiga
Pada tahap ini, bentuk partisipasi berupa suatu komite atau dewan sekolah. Anggotanya terdiri atas tokoh masyarakat, seseorang yang memiliki keahlian tertentu, kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan dinas pendidikan kabupaten, perwakilan orang tua siswa, dan dunia usaha. Tugas dewan sekolah ini antara lain memilih kepala sekolah, mengorganisasikan sumbangan dari orang tua dan masyarakat, mengawasi keuangan sekolah, ikut menyusun dan memilih kurikulum dan bahan ajar, membantu dan mengawasi proses belajar mengajar.

 Dari uraian tahap pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah dalam berbagai aspek tersebut di atas, dapat diketahui peran serta pemerintah daerah tingkat II untuk memberdayakan sekolah dalam rangka implementasi MBS. Dalam berbagai aspek, partisipasi pemerintah pusat semakin diperkecil sejalan dengan tahapan implementasi manajemen sekolah. Namun sebaliknya, partisipasi pemerintah daerah semakin diperbesar. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang menempatkan sekolah sebagai suatu institusi pendidikan yang mandiri.


BAB III
KESIMPULAN

Pengelolaan Sekolah Dasar (SD) berdasarkan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Management (SBM) merupakan bentuk alternatif model pengelolaan di bidang pendidikan yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dituntut memiliki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintah yang harus dilaksanakan secara bertahap.
Tingkat kemampuan manajemen sekolah untuk melaksanakan MBS berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Adanya perbedaan kemampuan manajemen sekolah yang perlu dibedakan dalam perlakuan berimplikasi terhadap dukungan pemerintah agar sekolah yang bersangkutan dapat menerapkan sistem baru. Dengan pertimbangan perbedaan kemampuan sekolah tersebut maka kewajiban dan kewenangan sekolah terhadap pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat berbeda antara sekolah yang satu dengan yang lain.
Pemerintah daerah berkewajiban melakukan upaya-upaya pemberdayaan bagi sekolah yang berkemampuan manajemen kurang, untuk mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Namun demikian untuk jangka panjang, Manajemen Berbasis Sekolah akan sangat ditentukan oleh kemampuan manajemen sekolah dalam menyusun rencana/program, pelaksanaan, dan evaluasinya.


DAFTAR PUSTAKA


Disdik Prop. Kalsel. (2006).Konsep MBS dan Strategi Pelaksanaannya. Makalah disajikan dalam sosialisasi SPM,MBS, dan Kebijakan Sekolah Dasar, BTKPPKB Banjarbaru,19-22 September.

Fattah, Nanang. Ali, H. Mohammad. (2008). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta. Universitas Terbuka.

Hernawan, Asep Herry. (2006). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta. Universitas Terbuka.



TERIMA KASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar