Minggu, 26 September 2010

Guru yang Profesional dan Efektif

Pada era otonomi pendidikan, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang amat besar bagi penentuan kualitas guru yang diperlukan di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu di masa yang akan datang, daerah benar-benar harus memiliki pola rekrutmen dan pola pembinaan karier guru agar tercipta profesionalisme pendidikan di daerah.
Dengan pola rekrutmen dan pembinaan karier guru yang baik, akan tercipta guru yang profesional dan efektif. Untuk kepentingan sekolah, memiliki guru yang profesional dan efektif merupakan kunci keberhasilan bagi proses belajar-mengajar di sekolah itu. Bahkan, John Goodlad, seorang tokoh pendidikan Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran. Penelitian itu kemudian dipublikasikan dengan titel: Behind the Classroom Doors, yang di dalamnya dijelaskan bahwa ketika para guru telah memasuki ruang kelas dan menutup pintu-pintu kelas itu, maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan oleh guru. Hal ini sangat masuk akal, karena ketika proses pembelajaran berlangsung, guru dapat melakukan apa saja di kelas. Ia dapat tampil sebagai sosok yang menarik sehingga mampu menebarkan virus nAch (needs for achievement) atau motivasi berprestasi, jika kita meminjam terminologi dari teorinya McCleland. Di dalam kelas itu seorang guru juga dapat tampil sebagai sosok yang mampu membuat siswa berpikir divergent dengan memberikan berbagai pertanyaan yang jawabnya tidak sekedar terkait dengan fakta, ya-tidak. Seorang guru di kelas dapat merumuskan pertanyaan kepada siswa yang memerlukan jawaban secara kreatif, imajinatif – hipotetik, dan sintetik (thought provoking questions). 
Sebaliknya, dengan otoritasnya di kelas yang begitu besar itu, bagi seorang guru juga tidak menutup kemungkinan untuk tampil sebagai sosok yang membosankan, instruktif, dan tidak mampu menjadi idola bagi siswa di kelas. Bahkan dia juga bisa berkembang ke arah proses pembelajaran yang secara tidak sadar mematikan kreativitas, menumpulkan daya nalar, mengabaikan aspek afektif, dan dengan demikian dapat dimasukkan ke dalam kategori banking concept of education-nya Paulo Friere, atau learning to have-nya Eric From. Pendek kata, untuk melindungi kepentingan siswa, dan juga untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) di daerah dalam jangka panjang di masa depan, guru memang harus profesional dan efektif di kelasnya masing-masing ketika ia harus melakukan proses belajar-mengajar.
Dalam konteks otonomi pendidikan, hasil penelitian John Goodlad tersebut memiliki implikasi bahwa pemerintah daerah perlu menciptakan sebuah sistem rekrutmen dan pembinaan karier guru agar para guru benar-benar memiliki profesionalisme dan efektivitas yang tinggi supaya ketika ia memasuki ruang kelas mampu menegakkan standar kualitas yang ideal bagi proses pembelajaran. Suatu pekerjaan dikatakan profesional jika pekerjaan itu memiliki kriteria tertentu. Jika kita mengikuti pendapat Houle, ciri-ciri suatu pekerjaan yang profesional meliputi: (1) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat; (2) harus berdasarkan atas kompetensi individual (bukan atas dasar KKN-pen.); (3) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi; (4) ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antar sejawat; (5) adanya kesadaran profesional yang tinggi; (6) memiliki prinsip-prinsip etik  (kode etik); (7) memiliki sistem sanksi profesi; (8) adanya militansi individual; dan  (9) memiliki organisasi profesi. Dari ciri-ciri ini Kantor Dinas Pendidikan di daerah dapat menterjemahkan ke dalam sistem rekrutmen dan pembinaan karier guru agar profesi-onalisme guru dapat selalu ditingkatkan di daerahnya masing-masing. Tanpa berbuat seperti itu kualitas guru akan selalu ketinggalan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, agar guru tetap profesional perlu ada sistem pembinaan karier yang baik, tersistem, dan berkelanjutan.
Guru yang profesional perlu melakukan pembelajaran di kelas secara efektif. Kemudian, bagaimana ciri-ciri guru yang efektif ? Menurut Gary A. Davis dan Margaret A. Thomas, paling tidak ada empat kelompok besar ciri-ciri guru yang efektif. Keempat kelompok itu terdiri dari:  

Pertama, memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas, yang kemudian dapat dirinci lagi menjadi (1) memiliki keterampilan interpersonal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa, dan ketulusan; (2) memiliki hubungan baik dengan siswa; (3) mampu menerima, mengakui, dan memperhatikan siswa secara tulus; (4) menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam mengajar; (5) mampu menciptakan atmosfir untuk tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dalam dan antar kelompok siswa; (6) mampu melibatkan siswa dalam meng-organisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran; (7) mampu mendengarkan siswa dan menghargai hak siswa untuk berbicara dalam setiap diskusi; (8) mampu meminimalkan friksi-friksi di kelas jika ada.

Kedua, kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen pembelajaran, yang meliputi: (1) memiliki kemampuan untuk menghadapi dan menangani siswa yang tidak memiliki perhatian, suka menyela, mengalihkan pembicaraan, dan mampu memberikan transisi substansi bahan ajar dalam proses pembelajaran; (2) mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berpikir yang berbeda untuk semua siswa.

Ketiga, memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feedback) dan penguatan (reinforcement), yang terdiri dari: (1) mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon siswa; (2) mampu memberikan respon yang bersifat membantu terhadap siswa yang lamban belajar; (3) mampu memberikan tindak lanjut terhadap jawaban siswa yang kurang memuaskan; (4) Mampu memberikan bantuan profesional kepada siswa jika diperlukan.
Keempat, memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri, terdiri dari: (1) mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif; (2) mampu memperluas dan menambah pengetahuan mengenai metode-metode pengajaran; (3) mampu memanfaatkan perencanaan guru secara kelompok untuk menciptakan dan mengembangkan metode pengajaran yang relevan.

Minggu, 22 Agustus 2010

Kegiatan Perkemahan Kwaran Rantau Badauh Barito Kuala

Kegiatan perkemahan ini dilaksanakan dalam rangka memperingati hari Pramuka. Kegiatan ini merupakan merupakan agenda rutin setiap tahun  Kwartir Ranting Rantau Badauh yang melibatkan berbagai gugus pramuka dari berbagai tingkat dan jenjang sekolah yang ada di Kecamatan Rantau Badauh mulai dari tingkat SD, SLTP, dan SLTA. Kegiatan yang dilaksanakan selama 3 (tiga) hari tersebut seyogyanya dilaksanakan tanggal 13, 14, dan 15 Agustus 2010 namun karena bersamaan dengan pelaksanaan ibadah puasa maka pelaksanaam kegiatan tersebut dimajukan pada tanggal 6,7, dan 8 Agustus 2010.
Pelaksanaan kegiatan ini berlokasi di Bumi Perkemahan Danda Jaya Kecamatan Rantau Badauh (sekitar 20 km dari ibu kota Kabupaten Barito Kuala) yang merupakan salah satu aset Kwartir Ranting Pramuka Rantau Badauh . Bumi Perkemahan ini juga sering digunakan untuk kegiatan pramuka yang diselenggarakan Kwartir Cabang Barito Kuala serta peringatan hari besar nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah di tingkat kecamatan Rantau  Badauh.
Peserta yang mengikuti kegiatan perkemahan ini lebih dari 60 gugus depan yang terdiri dari tingkat pengggalang putra dan putri, penegak putra dan putri, dan DKR seta pembina dari masing-masing gugus depan sesuai dengan jenjang sekolah yang ada di wilayah Kecamatan Rantau Badauh ditambah beberapa gugus depan pramuka yang diundang dari kecamatan lainnya.
Biaya dari semua kegiatan ini diambil dari kas keuangan kwartir ranting Pramuka Kecamatan Rantau Badauh, iuran pramuka yang dikumpulkan oleh panitia kegiatan serta biaya dari masing-masing sekolah dari dana BOS
Kegiatan perkemahan ini dibuka secara resmi oleh Camat Rantau Badauh, dalam sambutannya Beliau menyatakan penghargaan dan terimakasih kepada seluruh panitia penyelenggara kegiatan perkemahan serta mengharapkan agar kegiatan ini dapat dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya lebih meningkat.


Foto:
Salah satu peserta perkemahan dari Gudep 219 SDN Sungai Gampa 2 Kecamatan Rantau Badauh
by:  Khairunnijam Hafidz

Kamis, 12 Agustus 2010

MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA MEMBANDING PECAHAN MELALUI ALAT PERAGA SENI MELIPAT KERTAS (ORIGAMI) MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD KELAS III SDN SINAR BARU 1 KECAMATAN RANTAU BADAUH

A.     PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah khususnya pengajar pada hakikatnya selalu mengacu pada kurikulum yang berlaku. Kurikulum disusun berdasarkan tujuan penelitian Pendidikan Nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan disesuaikan dengan lingkungan, kebutuhan serta perkembangan ilmu dan teknologi. Berdasarkan kurikulum Pendidikan Nasional tahun 1994 bahwa mata pelajaran matematika berfungsi untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol, serta mempertajam penalaran untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian matematika merupakan bidang kajian yang objeknya bersifat abstrak. Maka tidak mengherankan apabila banyak siswa yang merasa kesulitan untuk memahami konsep-konsep matematika yang bersifat abstrak tersebut, sehingga matematika dipandang sebagai salah satu pelajaran yang sangat penting dalam kurikulum sekolah. Untuk membantu siswa memahami konsep-konsep matematika yang abstrak itu adalah melalui penggunaan alat peraga atau media tertentu seperti gambar, ilustrasi, dan lain-lain. Melalui alat peraga atau media yang digunakan, diharapkan siswa dapat meningkatkan hasil belajar yang lebih baik.
Penggunaan alat peraga atau media dalam pembelajaran matematika merupakan bagian penting dari prinsif yang dianut model pembelajaran efektif seperti yang dikembangkan oleh Cale dan Chan (1944). Model tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa terdapat prinsif-prinsif teridentifikasi yang sangat bermanfaat sebagai acuan untuk melakukan pembelajaran secara efektif. Model tersebut dikembangkan dengan berdasarkan pada berbagai hasil penelitian dan observasi misalnya seperti yang dilakukan Bicher dan Snaerman (1982), Brophy dan Gaad (1986) serta Walberg (1984), Suryadi (1998). Konsep pecahan merupakan salah satu materi pembelajaran matematika di kelas III Sekolah Dasar yang menuntut kemampuan optimal siswa untuk memahaminya dengan baik. Jika pemahaman dan pengetahuan tidak mapan, maka siswa akan mengalami kesulitan dalam mempelajari konsep perbandingan pecahan.
Berdasarkan pengalaman mengajar selama ini, kenyataan yang ada di kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh, sekitar 20 persen siswa yang dapat menguasai konsep pecahan dengan tuntas, sedangkan 80 persen mengalami kesulitan memahami dan menguasai konsep tersebut dengan baik. Dengan kata lain, kemampuan siswa kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh dalam menyelesaikan perbandingan cenderung lambat dikuasai.
2.      Rumusan dan Pemecahan Masalah
a.   Masalah yang akan dirumuskan adalah sebagai berikut : “ Apakah melalui kegiatan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan penggunaan media seni melipat kertas (origami) dapat meningkatkan kemampuan siswa Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh dalam membandingkan pecahan”.
b.   Untuk mengatasi lambatnya kemampuan siswa Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh dalam keterampilan membandingkan pecahan, maka dicoba melalui pembelajaran model kooperatif tipe STAD serta menggunakan seni melipat kertas (origami) sebagai peragaan.

B.      KAJIAN TEORI
1.   Pengertian Matematika
a.   Pentingnya Pembelajaran Matematika
      Matematika sebagai salah satu ilmu dasar, dewasa ini telah berkembang cukup pesat baik dari segi materi maupun segi kegunaannya. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena matematika merupakan salah satu pengetahuan dasar terpenting bagi sains dan teknologi yang sangat perlu bagi pembangunan. Lebih dari itu dalam kehidupan sehari-hari tidak ada orang yang terlepas dari hubungan hitung-menghitung/matematika. Pentingnya matematika di dunia pengetahuan dan teknologi dan kehidupan sehari-hari perlu dipahami dan dikuasai anak didik sejak dini sesuai dengan perkembangan intelektualnya (Depdikbud, 1992).
b.   Tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
            Tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar sejalan  dengan fungsinya yaitu :
(1)         Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung.
(2)         Menanamkan pengertian bilangan dan kecakapan dasar berhitung.
(3)         Meletakkan landasan berhitung yang kuat untuk mempelajari pengetahuan lebih lanjut.
(4)         Menumbuhkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan.
(5)         Memberikan bekal kemampuan dasar matematika serta membentuk sikap logis, cermat, kreatif, dan disiplin.
(6)         Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
c.   Karaktreristik Pengajaran Matematika
      Karakteristik pengajaran matematika adalah sebagai berikut :
(1)         Diajarkan secara bertahap dimulai dari yang konkrit ke abstrak, dari hal yang paling dekat sampai ke yang jauh, dari hal yang sederhana ke hal yang sulit.
(2)         Mengikuti model spiral, yaitu dalam memperkenalkan konsep baru selalu mengkaitkannya pada konsep yang telah dipelajari karena konsep baru merupakan perluasan dan pendalaman konsep sebelumnya.
(3)         Matematika berpola  pikir deduktif, yaitu memahami suatu konsep melalui pemahaman defenisi umum, kemudian contoh. Tetapi pengajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) digunakan pola pendekatan induktif, yaitu mengenal konsep melalui contoh karena secara psikologi siswa SD diwarnai tahap berpikir konkrit.
(4)         Pengajaran matematika menganut kebenaran konsestansi, yaitu kebenaran yang konsentrasi atau tetap, tidak ada pertentangan antara konsep yang satu dengan yang lain. Satu pernyataan yang dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan sebelumnya yang sudah dianggap benar (Depdikbud, 1993).

d.   Konsep Belajar melalui Alat Peraga pada Pembelajaran Matematika
            Dalam proses belajar mengajar kita sering menjumpai siswa yang mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran, sehingga pada akhir pelajaran ada sejumlah siswa yang belum berhasil. Maksud meningkatkan pemahaman dan keterampilan di sini  adalah pencapaian taraf penguasaan minimal yang ditetapkan secara perorangan maupun secara kelompok. Tujuan utama dari konsep meningkatkan pemahaman dan keterampilan  melalui alat peraga adalah usaha agar dikuasainya bahan pelajaran. Menurut Direktorat Pendidikan Dasar (1994), tujuan utama meningkatkan pemahaman dan keterampilan melalui alat peraga adalah :
(1)   Meningkatkan pemahaman siswa.
(2)   Meningkatkan keterampilan siswa
            Kriteria meningkatkan pemahaman dan keterampilan siswa melalui alat peraga dalam menguasai bahan pelajaran menurut Direktorat Pendidikan Dasar (1994) sebagai berikut :
(1)   Meningkatkan pemahaman dan keterampilan belajar perorangan.
(2)   Meningkatkan pemahaman dan keterampilan belajar klasikal.
            Suatu kelas disebut meningkat pemahaman dan keterampilan bila pada kelas telah  tersebut terdapat 85 persen siswa yang memperoleh nilai baik.
            Banyak faktor yang menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran matematika. Saleh (1998) mengemukakan ketidak-berhasilan siswa dalam belajar matematika antara lain disebabkan oleh :
(1)   Siswa tidak menangkap konsep dengan benar.
(2)   Siswa tidak menangkap arti dari lambang.
(3)   Ketidaklengkapan pengetahuan.
Alasan dalam pengajaran matematika di SD diperlukan alat peraga yaitu :
(1)   Dengan alat peraga siswa akan lebih senang mengikuti pelajaran matematika karena ada sesuatu yang diamati dan dimanipulasi.
(2)   Konsep matematika yang abstrak disajikan dalam bentuk nyata mudah dipahami siswa pada tingkat-tingkat lebih rendah  seperti kelas I, II, dan III.
(3)   Alat peraga membantu daya tilik ruang karena siswa tidak perlu membayangkan bentuk-bentuk geometri terutama geometri ruang (Depdikbud, 1994).

2.   Seni Lipat dan Menggunting Kertas (Origami)
                  Pembelajaran matematika dapat dibuat menyenangkan dan mengasyikkan melalui permainan seni melipat dan menggunting kertas yang terkait dengan kreativitas, mewarnai serta bercerita (Dewi Fauziah, 2003 : 28).
                  Adapun yang dimaksud Origami menurut Sudjianto dalam bukunya yang berjudul “Kamus Istilah Masyarakat dan Kebudayaan  Jepang “ menyebutkan bahwa Origami adalah seni melipat kertas menggunakan keterampilan tangan dengan teknik dan ketelitian tinggi    tanpa menggunakan gunting atau alat potong lainnya dan tidak menggunakan lem perekat dengan hanya menggunakan selembar kertas segi empat yang dilipat-lipat dan diciptakan keanekaragaman hasil karya lipat berwarna (Sudjianto, 2002 : 82)
                  Melalui kegiatan melipat kertas (origami), konsep pecahan yang menimbulkan kesulitan pada banyak siswa sehingga mengakibatkan timbulnya sikap yang tidak menguntungkan terhadap mata pelajaran matematika yang akhirnya menjadi penghambat dalam pembelajaran matematika itu sendiri diharapkan dapat teratasi. Sehingga hasilnya dapat mengubah sikap hidup mereka yang kemudian hari menjadi orang dewasa yakni menjadikan suatu pekerjaan yang tidak menarik dan membosankan menjadi pekerjaan yang menarik dan menyenangkan bahkan mengasyikkan serta rasa percaya diripun lebih terpelihara. Dengan demikian pelajaran matematika yang dianggap oleh sebagian siswa sebagai mata pelajaran yang membosankan dan memusingkan kepala dapat dibuat menarik dengan kegiatan seni melipat kertas dalam proses pembelajaran.
                        Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis mengambil judul :                               “ Meningkatkan  Kemampuan  Siswa Membanding Pecahan Melalui Alat Peraga Seni Melipat Kertas (Origami) Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh “.

3.   Model Pembelajaran Kooperatif
                  Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dimana siswa dalam satu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok dengan anggota 4 – 5 orang yang heterogen, kemampuannya, ras, budaya, suku dan jenis kelamin. Menurut Arens (1997 : 111) pembelajaran yang menggunakan model kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.      Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan soal.
b.      Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
c.   Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku dan jenis kelamin yang berbeda-beda.
d.     Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok daripada individu.
            Pembelajaran kooperatif dilaksanakan mengikuti tahapan sebagai berikut :
Tahapan 1           :  Menyampaikan tujuan pembelajaran dan perlengkapan  belajar.
Tahapan 2           :     Menyampaikan informasi
Tahapan 3           :     Mengatur siswa dalam kelompok belajar
Tahapan 4           :     Membantu siswa belajar dan bekerja kelompok.
Tahapan 5           :     Memberikan penghargaan

4.   Model Kooperatif Tipe STAD
                  . Proses pembelajaran kooperatif tipe STAD dilaksanakan beberapa tahapan sebagai berikut :
a.       Student Team Achievement Division (STAD) merupakan model pembelajaran kooperatif yang sederhana Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa.
b.      Menyampaikan informasi mengenai topik yang akan dipelajari.
c.       Mengatur siswa dalam kelompok belajar yang anggotanya antara 4 – 5 orang siswa dengan anggota yang heterogen.
d.      Membantu siswa belajar dan bekerja kelompok. Guru memberikan bimbingan bila diperlukan selama siswa menyelesaikan tugas.
e.       Memberikan penghargaan kepada siswa setelah menyelesaikan tugas kemudian memberikan evaluasi secara individu dalam kelompok.
Penghargaan kelompok dilakukan dalam dua tahapan, yaitu :
i.    Menghitung skor individu dan skor kelompok dengan aturan seperti tabel berikut (Slavin 1995 : 80)
Skor Tes
Nilai Perkembangan
Lebih dari 10 poin di bawah skor awal
5
10 poin – 1 poin di bawah skor awal
10
Skor awal sampai 10 poin di atasnya
20
Lebih dari 10 poin di atas skor awal
30
Nilai sempurna
30

ii. Memberikan penghargaan atas prestasi kelompok, dibedakan atas tiga tingkatan sebagai berikut :
(1)         Kelompok dengan rata-rata skor < 15 sebagai kelompok baik
(2)         Kelompok dengan rata-rata skor 15 < n < 25 sebagai kelompok hebat.
(3)         Kelompok dengan rata-rata skor n > 25 sebagai kelompok hebat.

5.   Model Kooperatif Learning
            Pembelajaran kooperatif merupakan suatu pendekatan untuk keperluan pengelolaan kelas yang mencakup beraneka ragam teknik untuk membina hubungan antara guru dan siswa. Pengajaran ini dimaksudkan tidak menyelidiki siapa yang akan berperan serta dalam jam pelajaran tertentu, melainkan membina dan mengoptimalkan bagaimana siswa belajar.
            Dalam pembelajaran kooperatif suatu kelas yang terdiri banyak siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil itu dibentuk berdasarkan persamaan minat siswa dalam mempelajari masalah atau pokok bahasan tertentu, atau dasar persahabatan dan tidak didasarkan atas persamaan EQ.
            Salah satu tujuan utama pembelajaran kooperatif adalah membantu siswa mengekspresikan kemampuan berkomunikasi dengan teman sekelas yang diwujudkan dalam bentuk kerja sama di antara siswa dalam kelas. Siswa termotivasi untuk meningkatkan kerja sama dengan kelompok lain, dan juga terjadi peningkatan perkembangan sikap positif.
     
C. PEMBAHASAN
               Dari temuan kegiatan belajar yang dilaksanakan selama 2 siklus 5 kali pertemuan, maka dapat direfleksikan sebagai berikut :
1.            Kegiatan belajar dengan aktivitas pendekatan kooperatif STAD dan media seni melipat kertas (origami) dinyatakan berhasil dengan nilai akhir rata-rata 7,69.
2.            Kegiatan aktivitas siswa pada awalnya kurang terarah disebabkan siswa belum terbiasa belajar sambil bermain serta belajar kelompok dengan menggunakan totur sebaya.
3.            Berdasarkan hasil observasi pembelajaran, observasi kegiatan siswa dan guru, penilaian hasil belajar dalam 2 siklus dan nilai yang dicapai pada tes untuk akhir siklus I dan siklus II dinyatakan berhasil dengan tujuan pembelajaran yang tercapai.
               Berdasarkan hasil penelitian, maka hipotesis tindakan yang berbunyi “Meningkatkan  Kemampuan  Siswa    Membanding  Pecahan Melalui Alat Peraga Seni Melipat Kertas (Origami) melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh” terbukti kebenarannya.

KESIMPULAN
               Berdasarkan refleksi hasil tindakan kelas siklus I dan II pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.   Tindakan kelas siklus I dengan pembelajaran matematika pokok bahasan pecahan dan topiknya membanding dua pecahan berpenyebut sama dan membanding dua pecahan berpenyebut berbeda di Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD melalui media seni melipat kertas (origami), menunjukkan hasil yang belum maksimal. Nilai tes siklus I pertemuan pertama rata-rata 5,54. Pertemuan kedua rata-rata nilai 5,76. Hal ini masih dibawah kriteria nilai ketuntasan belajar yang ditetapkan oleh kurikulum matematika SD.
2.   Tindakan kelas siklus II dengan mengamati hasil yang ditetapkan pada refleksi tindakan kelas siklus I dilakukan pembelajaran matematika dengan pokok bahasan pecahan dan topiknya membandingkan dua pecahan berpenyebut sama dan membandingkan dua pecahan berpenyebut berbeda di Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD melalui media seni melipat kertas (origami), menunjukkan nilai yang baik dan ketuntasan belajar yang diharapkan. Nilai tes siklus II pertemuan pertama menunjukkan rata-rata nilai 5,92 pertemuan kedua rata-rata nilai 7,00 dan pada pertemuan ketiga rata-rata nilai 7,92. Dari gambaran kegiatan siklus II ini, maka kriteria di atas nilai ketuntasan belajar yang ditetapkan kurikulum matematika rata-rata 6,00.
3.      Dari tabel hasil tes untuk siklus I dan siklus II menggambarkan bahwa model pembelajaran pendekatan kooperatif tipe STAD dan seni melipat kertas (origami) mampu memudahkan pemahaman membandingkan pecahan pada siswa Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala.


DAFTAR PUSTAKA

Baharin Samsudin. 2007. Kamus Matematika Bergambar. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta : Direktorat Pendidikan dasar.
Depdikbud. 1995. Pengelolaan Kelas di Sekolah Dasar. Jakarta : Direktorat Pendidikan Dasar.
Depdikbud. 1999. Kurikulum SD 1994 yang Disempurnakan Suplemen GBPP Matematika. Jakarta : Depdiknas.
Dewi Utama Faizah. 2003. Belajar Mengajar yang Menyenangkan. Solo : Tiga Serangkai. Pustaka Mandiri.
Indrawati. 2001. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung : Direktorat Pendidikan Dasar Menengah.
Sudjianto. 2003. Kamus Istilah Masyarakat dan Kebudayaan Jepang. Jakarta : Reneka Cipta.
Sukidin, dkk. 2002. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Surabaya : Insan Cendikia.
……………. 2003. Matematika 3a untuk Kelas III. Jakarta : Depdikbud Propinsi Kalimantan Selatan.

Konsep Dasar PTK

Uraian Pengalaman dan Contoh
Konsep PTK

Pada saat saya mengunjungi satu sekolah lanjutan pertama tempat dimana penelitian tindakan kelas pertama kali akan saya lakukan, saya dipertemukan dengan salah seorang guru bidang studi IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Pada saat itu tim peneliti berjumlah 5 orang yang teridiri atas 2 orang dosen dan 2 orang guru SLTP dan 1 orang guru SMU.

Layaknya tamu, kami saat itu menjelaskan maksud kedatangan kami ke sana, yaitu untuk mengajak mereka untuk melakukan penelitian tindakan kelas. Tahukah Anda bagaimana respon mereka ? Langsung saja respon para guru saat itu menampakkan rasa kekhawatirannya akan ajakan tersebut. Sebab selama ini apa yang mereka bayangkan tentang “penelitian” adalah suatu aktivitas yang melibatkan berbagai teori, metodologi dan hitungan statistika yang rumit dan membosankan. Dan kami saat itu mengajak mereka untuk melakukan PTK yang mungkin jangankan memahami apa itu PTK, mendengar saja mungkin baru saat itu. Sehingga spontan saja pertanyaan mereka yang pertama setelah kami berhasil menjelaskan bahwa dalam PTK tidak selalu memerlukan hitungan statistika rumit dan berbagai teori kependidikan yang mungkin belum pernah mereka pelajari adalah: “Apakah Pak yang dimaksud PTK ?” Saya jawab: “ saya tidak akan menjelaskannya sekarang, tapi akan saya jelaskan sedikit demi sedikit pada saat kita melakukan PTK itu sendiri” (Istilah kerennya: Learning by doing). Saat itu tampaknya mereka cukup pesimis, sebab seolah mereka diajak berjalan di dalam kegelapan. Tetapi setelah dijelaskan bahwa PTK itu tidak rumit maka mereka mulai menyanggupi ajakan kami tersebut.

Penjelasan pertama tentang konsep dasar PTK kami sampaikan pada saat kami (guru dan dosen) akan menulis proposal PTK. Karena saat itu PTK baru diperkenalkan kepada para guru untuk pertama kali, kami mencoba menggali masalah-masalah yang dihadapi oleh para guru selama melakukan proses pembelajaran. Meskipun demikian ternyata pada awalnya kami mendapat kesulitan untuk memunculkan masalah-masalah yang dihadapi mereka. Hal ini disebabkan oleh adanya sikap defensif dari mereka. Mereka cenderung untuk mengatakan tidak ada masalah dalam setiap proses pembelajaran. Tetapi setelah diajak bicara secara santai akhirnya mereka mulai menceritakan berbagai masalah yang biasa dihapi sehari-hari, mulai dari masalah sepele sampai masalah yang memerlukan penanganan serius melalui kegiatan penelitian yang berkesinambungan. Masalah-masalah tersebut akhirnya dapat diklasifikasi sebagai berikut: masalah yang berkaitan dengan input, dengan proses kegiatan belajar mengajar, dan dengan output. Pada awalnya kami tidak berusaha memberitahu para guru tentang masalah apa saja yang layak untuk diteliti melalui PTK. Tetapi dari diskusi yang berlangsung secara teratur 2 kali per minggu, kami dari pihak dosen mencoba mengklasifikasi  masalah itu seperti tersebut di atas.

Para guru sebenarnya sering menghadapi masalah dalam setiap pelaksanaan KBM-nya. Tetapi seringkali mereka kurang bisa mengidentifikasi sumber-sumber masalah tersebut. Akibatnya, sulit bagi mereka untuk merumuskan masalah-masalah untuk penelitian, sehingga akhirnya mereka enggan untuk melakukan penelitian. Oleh karena itu, ada baiknya bila dosen yang memiliki kemampuan mengidentifikasi sumber masalah bermitra dengan guru sekolah untuk melakukan PTK. Diharapkan melalui kegiatan PTK yang kolaboratif ini terjadi interaksi saling menguntungkan antara dosen LPTK dan guru. Namun demikian, kemitraan bisa juga dilaksanakan antara guru dengan guru lain yang bidang studinya baik sama ataupun tidak sama. Terlepas dengan siapa guru itu bermitra, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi sumber masalah dan kemudian mengklasifikasinya.

Salah satu masalah yang menarik perhatian kami saat itu adalah masalah yang berkaitan dengan implementasi metoda pembelajaran. Sehingga kami saat itu sepakat untuk konsetrasi pada masalah ini. Masalah yang akan kami selesaikan saat itu secara rinci berkaitan dengan: a. kemampuan membaca dan b. keterbacaan bahan ajar.
a.  Kemampuan membaca. Apa yang kami maksud dengan kemampuan membaca adalah kemampuan membaca konsep-konsep IPA-Fisika. Jadi bukan kemampuan membaca suatu naskah kemudian menyimaknya. Tetapi jauh lebih dalam dari itu. Jadi apa yang dimaksud kemampuan membaca disini adalah kemampuan memahami konsep-konsep IPA-Fisika dalam bentuk:
*  kemampuan menterjemahkan suatu persamaan sebuah konsep   kedalam bentuk narasi,
*   kemampuan menggunakan konsep-konsep dimaksud dalam bentuk hitungan,
*   kemampuan mengaplikaikan konsep-konsep itu,
*   kemampuan membaca kaitan antara konsep yang satu dengan konsep yang lain (peta konsep),
*   kemampuan membaca grafik,
*   kemampuan menterjemahkan grafik ke dalam bentuk konsep, serta
*  kemampuan membuat dan menganalisa sebuah grafik fungsi.
b. Keterbacaan bahan ajar. Apa yang kami maksud dengan keterbacaan bahan ajar adalah keterbacaan bahan ajar yang ditulis:
* dalam bentuk persamaan,
* dalam bentuk kalimat pendek,
* dalam bentuk kalimat panjang,
* dalam bentuk grafik,
* dalam bentuk data,
* dalam bentuk bagan/gambar, dan
* dalam bentuk penjelasan setiap persamaan.

Setelah kami sepakat dengan masalah penelitian yang akan kami teliti, langkah berikutnya adalah menyusun rencana penelitian (proposal).

Pada saat penyusunan proposal ini kami mulai menjelaskan apa PTK itu sesungguhnya. Kami mulai memperkenalkan pengertian PTK kepada para guru. Pertama, kami jelaskan PTK ini dengan mengutip salah satu definisi dari sebuah sumber yang ditulis oleh David Hopkins. Di dalam buku itu disebutkan bahwa PTK adalah: “a form of self-reflective inquiry undertaken by participants in a social (including educational) situation in order to improve the rationality and justice of (a) their own social or educational practices, (b) their understanding of these practices, and (c) the situations in which practices are carried out”.

Dari definisi tersebut di atas, dalam konteks kependidikan PTK mengandung pengertian bahwa PTK adalah sebuah bentuk kegiatan refleksi-diri yang dilakukan oleh para pelaku pendidikan dalam suatu situasi kependidikan untuk memperbaiki rasionalitas dan keadilan tentang (a) praktek-pratek kependidikan mereka, (b) pemahaman mereka tentang praktek-praktek tersebut, dan (c) situasi dimana praktek-praktek tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, PTK memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1.      Pengkajian masalah situasional dan kontektual pada perilaku seseorang atau kelompok orang. Artinya, solusi terhadap masalah-masalah yang digarap di dalam suatu kegiatan PTK tidak untuk digeneralisasi secara langsung. Jadi, setiap masalah yang muncul harus segera dicarikan solusinya untuk saat itu dan untuk kondisi dan konteks saat itu pula. Tidak harus menunggu suatu cara penyelesaian yang dapat berlaku umum di setiap situasi, kondisi, dan konteks. Namun demikian, tidak berarti bahwa PTK tidak dapat menemukan solusi yang bersifat general. Dari kegiatan PTK yang berkesinambungan dan terorganisasi dengan baik, maka pola solusi umum untuk beberapa masalah akan muncul atau nampak. Sehingga, generalisasi hasil suatu kegiatan PTK mungkin juga dicapai tetapi setelah melalui beberapa kegiatan PTK.

2.      Ada tindakan. Perbedaan yang mencolok antara PTK dengan penelitian-penelitian lainya adalah harus ada tindakan perbaikan yang dirancang untuk mengatasi masalah yang dihadapi saat itu dalam konteks dan situasi saat itu pula. Tindakan (action) ini benar-benar dimaksudkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi, bukan untuk mengembangkan atau menguji sebuah teori, dan juga tidak dimaksudkan untuk mencari solusi yang berlaku umum disetiap situasi dan kondisi. Jadi tidak perlu ada generalisasi hasil PTK.

3.      Penelaahan terhadap tindakan. Di samping adanya tindakan, dalam PTK tindakan yang dilakukan tadi harus ditelaah: kelebihan dan kekurangannya, pelaksanaannya, kesesuaiannya dengan tujuan semula, penyimpangan yang terjadi selama pelaksanaan, dan argumen-argumen yang muncul selama pelaksaan. Telaahan terhadap tindakan ini dilakukan pada saat observasi.

4.      Pengkajian dampak tindakan.  Dampak dari tindakan yang dilakukan harus di kaji apakah sesuai dengan tujuan, apakah memberi dampak positif lain yang tidak diduga sebelumnya, atau bahkan menimbulkan dampak negatif yang merugikan peserta didik.

5.      Dilakukan secara kolaboratif. Mengingat kompleksitas pelaksanaan suatu PTK, maka ada baiknya jika PTK ini dilaksanakan secara kolaborasi. Kolaborasi dapat dilaksanakan antara guru dengan dosen LPTK, antara guru dengan guru lain yang bidang studinya baik sama ataupun tidak sama, atau bahkan antara guru dengan siswa.

6.      Refleksi. Kegiatan penting lainnya dalam suatu PTK adalah adanya refleksi. Dalam refleksi ini ada banyak hal yang harus dilakukan, yaitu mulai dari mengevaluasi tindakan sampai dengan memutuskan apakah masalah itu tuntas atau perlu tindakan lain dalam siklus berikutnya. Secara rinci penjelasan mengenai refleksi dalam PTK, saat itu kami sampaikan pada saat kami melaksanakan PTK. Arti sederhana dari kata refleksi adalah merenungkan apa yang sudah kita kerjakan baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Namun pada saat kami melaksanakan kegiatan PTK, kami menjelaskan arti refleksi dengan  mengatakan bahwa sesungguhnya para guru sudah sering melakukan refleksi. Sebagai contoh refleksi yang sering dilakukan guru adalah pada saat seorang guru mengeluhkan tingkah laku negatif seorang siswa atau sekelompok siswa di dalam kelas kepada guru (guru-guru) lainnya. Guru tersebut mungkin langsung memperoleh tanggapan langsung dari guru (guru-guru) lain itu, atau mungkin guru lain itu sama sekali tidak merespon keluhan tersebut. Muncul tidaknya tanggapan itu mungkin disebabkan oleh beberapa kemungkinan, seperti: bagi guru lain yang memberi tanggapan mungkin keluhan itu juga dirasakan oleh guru lain itu sehingga mungkin muncul diskusi tentang keluhan negatif itu. Tetapi kemungkinan lain untuk guru yang memberi tanggapan itu adalah justru keluhan itu tidak pernah dirasakan oleh mereka sehingga keadaan seperti ini memunculkan rasa penasaran pada guru yang memiliki keluhan tadi. Mungkin ia bertanya pada dirinya sendiri, mengapa ia memiliki keluhan itu, sedangkan guru lain tidak. Dari sini guru itu mulai bertanya-tanya ada apa gerangan dengan dirinya. Jangan-jangan ia mengajar kurang baik, atau jangan-jangan ia penampilannya kurang disukai, atau jangan-jangan siswa merasa bosan dengan pelajaran yang ia ajarkan, atau jangan-jangan para siswa merasa kurang tertarik kepada pelajaran itu, atau jangan-jangan.........., atau jangan-jangan........ dst. Nah pada saat guru itu mulai menelaah ulang apa yang terjadi di dalam kelas, misalnya, maka kita katakan bahwa guru itu sedang melakukan refleksi. Refleksi adalah merupakan salah satu fase (tahap) penting di dalak PTK. Sebab dalam refleksi itu ada banyak kegiatan penting, seperti

      merenungkan kembali mengenai kekuatan dan kelemahan dari tindakan yang telah dilakukan.

      menjawab tentang penyebab situasi dan kondisi yang terjadi selama pelaksanaan tindakan

      memperkirakan solusi atas keluhan yang muncul.

      mengidentifikasi kendala/ancaman yang mungkin dihadapi.

      memperkirakan akibat dan implikasi dari tindakan yang direncanakan.


Kegiatan refleksi itu terdiri atas 4 komponen kegiatan, yaitu: analisis data hasil observasi, pemaknaan data hasil analisa, penjelasan hasil analisa, dan penyimpulan apakah masalah itu selesai/teratasi atau tidak. Jika teratasi berapa persen yang teratasi dan berapa persen yang belum. Jika ada yang belum teratasi, apakah perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya atau tidak. Jadi dalam refleksi akan ditentukan apakah penelitian itu berhenti di situ atau terus.


Sebelum kami mulai melakukan kegiatan PTK terlebih dahulu kami juga jelaskan prinsip-prinsip PTK. Pada awalnya para guru mengira bahwa kami saat itu memerlukan waktu khusus untuk penelitian. Di samping itu, mereka juga mengira kalau PTK yang akan kami laksanakan itu merupakan kegiatan tambahan, sehingga ada kekhawatiran mengganggu tugas mengajar mereka. Dan yang paling sulit disadari oleh mereka saat itu adalah bahwa masalah yang akan kami garap adalah sesungguhnya masalah mereka. Hal ini mungkin para guru itu masih mengganggap bahwa kami masih sebagai dosen mereka dan sebagai pemilik masalah penelitian. Tetapi setelah kami jelaskan tentang prinsip-prinsip PTK yaitu: tidak mengganggu komitmen mengajar, tidak menuntut waktu khusus, dan masalah itu harus merupakan masalah yang dihadapi guru, barulah mereka merasa nampak lega.

Terakhir kami coba simpulkan perbedaan antara PTK dengan penelitian-penelitian yang selama ini sering dilakukan. Untuk memudahkan, penelitian-penelitian yang selama ini sering dilakukan kami sebut saja penelitian formal. Perbedaan antara PTK dengan penelitian Formal adalah sebagai berikut:

Sebaiknya PTK dilakukan secara kemitraan (kolaborasi) baik antara guru dangan guru maupun antara guru dengan dosen.

Prinsip kemitraan adalah berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Ide penelitian sebaiknya muncul dari para guru. Jadi tidak harus dosen menggurui guru, dan sebaliknya tidak perlu guru menempatkan diri sebagai bawahan.
Dosen memang memiliki beberapa kelebihan dalam hal teori, tetapi guru juga memiliki kelebihan dalam hal praktek di lapangan. Guru lebih mengetahui karakter kelasnya, dan dosen mengetahui banyak teori kependidikan.



Sebaiknya, masalah yang diteliti harus muncul dari guru itu sendiri, sebab guru yang mengetahui situasi dan kondisi siswa dan kelasnya sehari-hari. Di samping itu, masalah ini harus merupakan masalah yang biasa dihadapi guru.




Macam sumber masalah.
Pertama, masalah yang berkaitan dengan input dapat bersumber dari: siswa, guru, sumber belajar, materi pelajaran, prosedur evaluasi, dan lingkungan belajar. Kedua, masalah yang berkaitan dengan proses kegiat
an belajar mengajar dapat bersumber dari: Interaksi belajar-mengajar, keterampilan bertanya guru/siswa, gaya mengajar, cara belajar, dan implementasi metode pembelajaran. Dan terakhir, masalah yang berkaitan dengan output dapat bersumber dari: hasil belajar siswa, daya ingat siswa, sikap negatif siswa, dan motivasi rendah.









































PTK memiliki ciri sebagai berikut:

1.      Pengkajian masalah situasional dan kontektual pada perilaku seseorang atau kelompok orang,

2.      Ada tindakan,

3.      Penelaahan terhadap tindakan,

4.      Pengkajian dampak tindakan,

5.      Dilakukan secara kolaboratif,

6.      Refleksi.


Ciri PTK tersebut di atas sering dinyatakan dalam bentuk sebuah spiral yang sering disebut spiral PTK, seperti ditunjukkan dalam Gambar 1.

































Gambar 1. Spiral PTK.

Spiral PTK itu sesungguhnya melukiskan siklus demi siklus dalam PTK. Satu siklus terdiri atas 3 komponen PTK, yaitu rencana, tindakan/ observasi, dan refleksi. Dalam Gambar 1 di atas ditunjukan 3 siklus.


PTK memiliki karakteristik sebagai berikut:

1.      Permasalahan sehari-hari di kelas.

2.      Kontekstual.

3.      Kolaboratif (partisipatori).

4.      Luwes.

5.      Situasional dan spesifik.


Arti sederhana dari kata refleksi adalah merenungkan apa yang sudah kita kerjakan baik di dalam kelas maupun di luar kelas.


Kegiatan refleksi itu terdiri atas 4 komponen kegiatan, yaitu: analisis data hasil observasi, pemaknaan data hasil analisa, penjelasan hasil analisa, dan penyimpulan apakah masalah itu selesai/teratasi atau tidak.


 



























 

PRINSIP-PRINSIP PTK

1.      Tidak mengganggu komitmen mengajar.

2.      Tidak menuntut waktu khusus.

3.      Masalah yang diteliti harus merupakan masalah yang dihadapi oleh guru.







Penelitian Formal

PTK

§         Dilakukan oleh orang dari luar.

§         Dilakukan oleh gur/dosen sendiri.

Lebih formal/hirau akan syarat-syarat:

§         Sampel harus representatif

Kurang formal/hirau pada syarat-syarat:

§         Ukuran/kerepresentatifan sampel tak dihiraukan.

§         Instrumen harus dikembangkan sehingga valid & reliabel

§         Pengembangan instrumen yang valid dan reliabel tak dilakukan.

§         Menuntut penggunaan analisis statistik

§         Tak digunakan analisis statistik yang rumit

§         Mempersyaratkan hipotesis.

§         Tidak selalu menggunakan hipotesis (kecuali yang berkaitan dengan uji teori)

Tujuannya

§         Mengembangkan pengetahuan umum (teori)

§         Tidak langsung memperbaiki praktik pembelajaran, tetapi melalui RDD.

Tujuannya

§         Memperbaiki praktik pembelajaran secara langsung.