Minggu, 22 Agustus 2010

Kegiatan Perkemahan Kwaran Rantau Badauh Barito Kuala

Kegiatan perkemahan ini dilaksanakan dalam rangka memperingati hari Pramuka. Kegiatan ini merupakan merupakan agenda rutin setiap tahun  Kwartir Ranting Rantau Badauh yang melibatkan berbagai gugus pramuka dari berbagai tingkat dan jenjang sekolah yang ada di Kecamatan Rantau Badauh mulai dari tingkat SD, SLTP, dan SLTA. Kegiatan yang dilaksanakan selama 3 (tiga) hari tersebut seyogyanya dilaksanakan tanggal 13, 14, dan 15 Agustus 2010 namun karena bersamaan dengan pelaksanaan ibadah puasa maka pelaksanaam kegiatan tersebut dimajukan pada tanggal 6,7, dan 8 Agustus 2010.
Pelaksanaan kegiatan ini berlokasi di Bumi Perkemahan Danda Jaya Kecamatan Rantau Badauh (sekitar 20 km dari ibu kota Kabupaten Barito Kuala) yang merupakan salah satu aset Kwartir Ranting Pramuka Rantau Badauh . Bumi Perkemahan ini juga sering digunakan untuk kegiatan pramuka yang diselenggarakan Kwartir Cabang Barito Kuala serta peringatan hari besar nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah di tingkat kecamatan Rantau  Badauh.
Peserta yang mengikuti kegiatan perkemahan ini lebih dari 60 gugus depan yang terdiri dari tingkat pengggalang putra dan putri, penegak putra dan putri, dan DKR seta pembina dari masing-masing gugus depan sesuai dengan jenjang sekolah yang ada di wilayah Kecamatan Rantau Badauh ditambah beberapa gugus depan pramuka yang diundang dari kecamatan lainnya.
Biaya dari semua kegiatan ini diambil dari kas keuangan kwartir ranting Pramuka Kecamatan Rantau Badauh, iuran pramuka yang dikumpulkan oleh panitia kegiatan serta biaya dari masing-masing sekolah dari dana BOS
Kegiatan perkemahan ini dibuka secara resmi oleh Camat Rantau Badauh, dalam sambutannya Beliau menyatakan penghargaan dan terimakasih kepada seluruh panitia penyelenggara kegiatan perkemahan serta mengharapkan agar kegiatan ini dapat dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya lebih meningkat.


Foto:
Salah satu peserta perkemahan dari Gudep 219 SDN Sungai Gampa 2 Kecamatan Rantau Badauh
by:  Khairunnijam Hafidz

Kamis, 12 Agustus 2010

MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA MEMBANDING PECAHAN MELALUI ALAT PERAGA SENI MELIPAT KERTAS (ORIGAMI) MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD KELAS III SDN SINAR BARU 1 KECAMATAN RANTAU BADAUH

A.     PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah khususnya pengajar pada hakikatnya selalu mengacu pada kurikulum yang berlaku. Kurikulum disusun berdasarkan tujuan penelitian Pendidikan Nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan disesuaikan dengan lingkungan, kebutuhan serta perkembangan ilmu dan teknologi. Berdasarkan kurikulum Pendidikan Nasional tahun 1994 bahwa mata pelajaran matematika berfungsi untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol, serta mempertajam penalaran untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian matematika merupakan bidang kajian yang objeknya bersifat abstrak. Maka tidak mengherankan apabila banyak siswa yang merasa kesulitan untuk memahami konsep-konsep matematika yang bersifat abstrak tersebut, sehingga matematika dipandang sebagai salah satu pelajaran yang sangat penting dalam kurikulum sekolah. Untuk membantu siswa memahami konsep-konsep matematika yang abstrak itu adalah melalui penggunaan alat peraga atau media tertentu seperti gambar, ilustrasi, dan lain-lain. Melalui alat peraga atau media yang digunakan, diharapkan siswa dapat meningkatkan hasil belajar yang lebih baik.
Penggunaan alat peraga atau media dalam pembelajaran matematika merupakan bagian penting dari prinsif yang dianut model pembelajaran efektif seperti yang dikembangkan oleh Cale dan Chan (1944). Model tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa terdapat prinsif-prinsif teridentifikasi yang sangat bermanfaat sebagai acuan untuk melakukan pembelajaran secara efektif. Model tersebut dikembangkan dengan berdasarkan pada berbagai hasil penelitian dan observasi misalnya seperti yang dilakukan Bicher dan Snaerman (1982), Brophy dan Gaad (1986) serta Walberg (1984), Suryadi (1998). Konsep pecahan merupakan salah satu materi pembelajaran matematika di kelas III Sekolah Dasar yang menuntut kemampuan optimal siswa untuk memahaminya dengan baik. Jika pemahaman dan pengetahuan tidak mapan, maka siswa akan mengalami kesulitan dalam mempelajari konsep perbandingan pecahan.
Berdasarkan pengalaman mengajar selama ini, kenyataan yang ada di kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh, sekitar 20 persen siswa yang dapat menguasai konsep pecahan dengan tuntas, sedangkan 80 persen mengalami kesulitan memahami dan menguasai konsep tersebut dengan baik. Dengan kata lain, kemampuan siswa kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh dalam menyelesaikan perbandingan cenderung lambat dikuasai.
2.      Rumusan dan Pemecahan Masalah
a.   Masalah yang akan dirumuskan adalah sebagai berikut : “ Apakah melalui kegiatan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan penggunaan media seni melipat kertas (origami) dapat meningkatkan kemampuan siswa Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh dalam membandingkan pecahan”.
b.   Untuk mengatasi lambatnya kemampuan siswa Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh dalam keterampilan membandingkan pecahan, maka dicoba melalui pembelajaran model kooperatif tipe STAD serta menggunakan seni melipat kertas (origami) sebagai peragaan.

B.      KAJIAN TEORI
1.   Pengertian Matematika
a.   Pentingnya Pembelajaran Matematika
      Matematika sebagai salah satu ilmu dasar, dewasa ini telah berkembang cukup pesat baik dari segi materi maupun segi kegunaannya. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena matematika merupakan salah satu pengetahuan dasar terpenting bagi sains dan teknologi yang sangat perlu bagi pembangunan. Lebih dari itu dalam kehidupan sehari-hari tidak ada orang yang terlepas dari hubungan hitung-menghitung/matematika. Pentingnya matematika di dunia pengetahuan dan teknologi dan kehidupan sehari-hari perlu dipahami dan dikuasai anak didik sejak dini sesuai dengan perkembangan intelektualnya (Depdikbud, 1992).
b.   Tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
            Tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar sejalan  dengan fungsinya yaitu :
(1)         Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung.
(2)         Menanamkan pengertian bilangan dan kecakapan dasar berhitung.
(3)         Meletakkan landasan berhitung yang kuat untuk mempelajari pengetahuan lebih lanjut.
(4)         Menumbuhkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan.
(5)         Memberikan bekal kemampuan dasar matematika serta membentuk sikap logis, cermat, kreatif, dan disiplin.
(6)         Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
c.   Karaktreristik Pengajaran Matematika
      Karakteristik pengajaran matematika adalah sebagai berikut :
(1)         Diajarkan secara bertahap dimulai dari yang konkrit ke abstrak, dari hal yang paling dekat sampai ke yang jauh, dari hal yang sederhana ke hal yang sulit.
(2)         Mengikuti model spiral, yaitu dalam memperkenalkan konsep baru selalu mengkaitkannya pada konsep yang telah dipelajari karena konsep baru merupakan perluasan dan pendalaman konsep sebelumnya.
(3)         Matematika berpola  pikir deduktif, yaitu memahami suatu konsep melalui pemahaman defenisi umum, kemudian contoh. Tetapi pengajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) digunakan pola pendekatan induktif, yaitu mengenal konsep melalui contoh karena secara psikologi siswa SD diwarnai tahap berpikir konkrit.
(4)         Pengajaran matematika menganut kebenaran konsestansi, yaitu kebenaran yang konsentrasi atau tetap, tidak ada pertentangan antara konsep yang satu dengan yang lain. Satu pernyataan yang dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan sebelumnya yang sudah dianggap benar (Depdikbud, 1993).

d.   Konsep Belajar melalui Alat Peraga pada Pembelajaran Matematika
            Dalam proses belajar mengajar kita sering menjumpai siswa yang mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran, sehingga pada akhir pelajaran ada sejumlah siswa yang belum berhasil. Maksud meningkatkan pemahaman dan keterampilan di sini  adalah pencapaian taraf penguasaan minimal yang ditetapkan secara perorangan maupun secara kelompok. Tujuan utama dari konsep meningkatkan pemahaman dan keterampilan  melalui alat peraga adalah usaha agar dikuasainya bahan pelajaran. Menurut Direktorat Pendidikan Dasar (1994), tujuan utama meningkatkan pemahaman dan keterampilan melalui alat peraga adalah :
(1)   Meningkatkan pemahaman siswa.
(2)   Meningkatkan keterampilan siswa
            Kriteria meningkatkan pemahaman dan keterampilan siswa melalui alat peraga dalam menguasai bahan pelajaran menurut Direktorat Pendidikan Dasar (1994) sebagai berikut :
(1)   Meningkatkan pemahaman dan keterampilan belajar perorangan.
(2)   Meningkatkan pemahaman dan keterampilan belajar klasikal.
            Suatu kelas disebut meningkat pemahaman dan keterampilan bila pada kelas telah  tersebut terdapat 85 persen siswa yang memperoleh nilai baik.
            Banyak faktor yang menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran matematika. Saleh (1998) mengemukakan ketidak-berhasilan siswa dalam belajar matematika antara lain disebabkan oleh :
(1)   Siswa tidak menangkap konsep dengan benar.
(2)   Siswa tidak menangkap arti dari lambang.
(3)   Ketidaklengkapan pengetahuan.
Alasan dalam pengajaran matematika di SD diperlukan alat peraga yaitu :
(1)   Dengan alat peraga siswa akan lebih senang mengikuti pelajaran matematika karena ada sesuatu yang diamati dan dimanipulasi.
(2)   Konsep matematika yang abstrak disajikan dalam bentuk nyata mudah dipahami siswa pada tingkat-tingkat lebih rendah  seperti kelas I, II, dan III.
(3)   Alat peraga membantu daya tilik ruang karena siswa tidak perlu membayangkan bentuk-bentuk geometri terutama geometri ruang (Depdikbud, 1994).

2.   Seni Lipat dan Menggunting Kertas (Origami)
                  Pembelajaran matematika dapat dibuat menyenangkan dan mengasyikkan melalui permainan seni melipat dan menggunting kertas yang terkait dengan kreativitas, mewarnai serta bercerita (Dewi Fauziah, 2003 : 28).
                  Adapun yang dimaksud Origami menurut Sudjianto dalam bukunya yang berjudul “Kamus Istilah Masyarakat dan Kebudayaan  Jepang “ menyebutkan bahwa Origami adalah seni melipat kertas menggunakan keterampilan tangan dengan teknik dan ketelitian tinggi    tanpa menggunakan gunting atau alat potong lainnya dan tidak menggunakan lem perekat dengan hanya menggunakan selembar kertas segi empat yang dilipat-lipat dan diciptakan keanekaragaman hasil karya lipat berwarna (Sudjianto, 2002 : 82)
                  Melalui kegiatan melipat kertas (origami), konsep pecahan yang menimbulkan kesulitan pada banyak siswa sehingga mengakibatkan timbulnya sikap yang tidak menguntungkan terhadap mata pelajaran matematika yang akhirnya menjadi penghambat dalam pembelajaran matematika itu sendiri diharapkan dapat teratasi. Sehingga hasilnya dapat mengubah sikap hidup mereka yang kemudian hari menjadi orang dewasa yakni menjadikan suatu pekerjaan yang tidak menarik dan membosankan menjadi pekerjaan yang menarik dan menyenangkan bahkan mengasyikkan serta rasa percaya diripun lebih terpelihara. Dengan demikian pelajaran matematika yang dianggap oleh sebagian siswa sebagai mata pelajaran yang membosankan dan memusingkan kepala dapat dibuat menarik dengan kegiatan seni melipat kertas dalam proses pembelajaran.
                        Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis mengambil judul :                               “ Meningkatkan  Kemampuan  Siswa Membanding Pecahan Melalui Alat Peraga Seni Melipat Kertas (Origami) Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh “.

3.   Model Pembelajaran Kooperatif
                  Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dimana siswa dalam satu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok dengan anggota 4 – 5 orang yang heterogen, kemampuannya, ras, budaya, suku dan jenis kelamin. Menurut Arens (1997 : 111) pembelajaran yang menggunakan model kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.      Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan soal.
b.      Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
c.   Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku dan jenis kelamin yang berbeda-beda.
d.     Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok daripada individu.
            Pembelajaran kooperatif dilaksanakan mengikuti tahapan sebagai berikut :
Tahapan 1           :  Menyampaikan tujuan pembelajaran dan perlengkapan  belajar.
Tahapan 2           :     Menyampaikan informasi
Tahapan 3           :     Mengatur siswa dalam kelompok belajar
Tahapan 4           :     Membantu siswa belajar dan bekerja kelompok.
Tahapan 5           :     Memberikan penghargaan

4.   Model Kooperatif Tipe STAD
                  . Proses pembelajaran kooperatif tipe STAD dilaksanakan beberapa tahapan sebagai berikut :
a.       Student Team Achievement Division (STAD) merupakan model pembelajaran kooperatif yang sederhana Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa.
b.      Menyampaikan informasi mengenai topik yang akan dipelajari.
c.       Mengatur siswa dalam kelompok belajar yang anggotanya antara 4 – 5 orang siswa dengan anggota yang heterogen.
d.      Membantu siswa belajar dan bekerja kelompok. Guru memberikan bimbingan bila diperlukan selama siswa menyelesaikan tugas.
e.       Memberikan penghargaan kepada siswa setelah menyelesaikan tugas kemudian memberikan evaluasi secara individu dalam kelompok.
Penghargaan kelompok dilakukan dalam dua tahapan, yaitu :
i.    Menghitung skor individu dan skor kelompok dengan aturan seperti tabel berikut (Slavin 1995 : 80)
Skor Tes
Nilai Perkembangan
Lebih dari 10 poin di bawah skor awal
5
10 poin – 1 poin di bawah skor awal
10
Skor awal sampai 10 poin di atasnya
20
Lebih dari 10 poin di atas skor awal
30
Nilai sempurna
30

ii. Memberikan penghargaan atas prestasi kelompok, dibedakan atas tiga tingkatan sebagai berikut :
(1)         Kelompok dengan rata-rata skor < 15 sebagai kelompok baik
(2)         Kelompok dengan rata-rata skor 15 < n < 25 sebagai kelompok hebat.
(3)         Kelompok dengan rata-rata skor n > 25 sebagai kelompok hebat.

5.   Model Kooperatif Learning
            Pembelajaran kooperatif merupakan suatu pendekatan untuk keperluan pengelolaan kelas yang mencakup beraneka ragam teknik untuk membina hubungan antara guru dan siswa. Pengajaran ini dimaksudkan tidak menyelidiki siapa yang akan berperan serta dalam jam pelajaran tertentu, melainkan membina dan mengoptimalkan bagaimana siswa belajar.
            Dalam pembelajaran kooperatif suatu kelas yang terdiri banyak siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil itu dibentuk berdasarkan persamaan minat siswa dalam mempelajari masalah atau pokok bahasan tertentu, atau dasar persahabatan dan tidak didasarkan atas persamaan EQ.
            Salah satu tujuan utama pembelajaran kooperatif adalah membantu siswa mengekspresikan kemampuan berkomunikasi dengan teman sekelas yang diwujudkan dalam bentuk kerja sama di antara siswa dalam kelas. Siswa termotivasi untuk meningkatkan kerja sama dengan kelompok lain, dan juga terjadi peningkatan perkembangan sikap positif.
     
C. PEMBAHASAN
               Dari temuan kegiatan belajar yang dilaksanakan selama 2 siklus 5 kali pertemuan, maka dapat direfleksikan sebagai berikut :
1.            Kegiatan belajar dengan aktivitas pendekatan kooperatif STAD dan media seni melipat kertas (origami) dinyatakan berhasil dengan nilai akhir rata-rata 7,69.
2.            Kegiatan aktivitas siswa pada awalnya kurang terarah disebabkan siswa belum terbiasa belajar sambil bermain serta belajar kelompok dengan menggunakan totur sebaya.
3.            Berdasarkan hasil observasi pembelajaran, observasi kegiatan siswa dan guru, penilaian hasil belajar dalam 2 siklus dan nilai yang dicapai pada tes untuk akhir siklus I dan siklus II dinyatakan berhasil dengan tujuan pembelajaran yang tercapai.
               Berdasarkan hasil penelitian, maka hipotesis tindakan yang berbunyi “Meningkatkan  Kemampuan  Siswa    Membanding  Pecahan Melalui Alat Peraga Seni Melipat Kertas (Origami) melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh” terbukti kebenarannya.

KESIMPULAN
               Berdasarkan refleksi hasil tindakan kelas siklus I dan II pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.   Tindakan kelas siklus I dengan pembelajaran matematika pokok bahasan pecahan dan topiknya membanding dua pecahan berpenyebut sama dan membanding dua pecahan berpenyebut berbeda di Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD melalui media seni melipat kertas (origami), menunjukkan hasil yang belum maksimal. Nilai tes siklus I pertemuan pertama rata-rata 5,54. Pertemuan kedua rata-rata nilai 5,76. Hal ini masih dibawah kriteria nilai ketuntasan belajar yang ditetapkan oleh kurikulum matematika SD.
2.   Tindakan kelas siklus II dengan mengamati hasil yang ditetapkan pada refleksi tindakan kelas siklus I dilakukan pembelajaran matematika dengan pokok bahasan pecahan dan topiknya membandingkan dua pecahan berpenyebut sama dan membandingkan dua pecahan berpenyebut berbeda di Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD melalui media seni melipat kertas (origami), menunjukkan nilai yang baik dan ketuntasan belajar yang diharapkan. Nilai tes siklus II pertemuan pertama menunjukkan rata-rata nilai 5,92 pertemuan kedua rata-rata nilai 7,00 dan pada pertemuan ketiga rata-rata nilai 7,92. Dari gambaran kegiatan siklus II ini, maka kriteria di atas nilai ketuntasan belajar yang ditetapkan kurikulum matematika rata-rata 6,00.
3.      Dari tabel hasil tes untuk siklus I dan siklus II menggambarkan bahwa model pembelajaran pendekatan kooperatif tipe STAD dan seni melipat kertas (origami) mampu memudahkan pemahaman membandingkan pecahan pada siswa Kelas III SDN Sinar Baru 1 Kecamatan Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala.


DAFTAR PUSTAKA

Baharin Samsudin. 2007. Kamus Matematika Bergambar. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta : Direktorat Pendidikan dasar.
Depdikbud. 1995. Pengelolaan Kelas di Sekolah Dasar. Jakarta : Direktorat Pendidikan Dasar.
Depdikbud. 1999. Kurikulum SD 1994 yang Disempurnakan Suplemen GBPP Matematika. Jakarta : Depdiknas.
Dewi Utama Faizah. 2003. Belajar Mengajar yang Menyenangkan. Solo : Tiga Serangkai. Pustaka Mandiri.
Indrawati. 2001. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung : Direktorat Pendidikan Dasar Menengah.
Sudjianto. 2003. Kamus Istilah Masyarakat dan Kebudayaan Jepang. Jakarta : Reneka Cipta.
Sukidin, dkk. 2002. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Surabaya : Insan Cendikia.
……………. 2003. Matematika 3a untuk Kelas III. Jakarta : Depdikbud Propinsi Kalimantan Selatan.

Konsep Dasar PTK

Uraian Pengalaman dan Contoh
Konsep PTK

Pada saat saya mengunjungi satu sekolah lanjutan pertama tempat dimana penelitian tindakan kelas pertama kali akan saya lakukan, saya dipertemukan dengan salah seorang guru bidang studi IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Pada saat itu tim peneliti berjumlah 5 orang yang teridiri atas 2 orang dosen dan 2 orang guru SLTP dan 1 orang guru SMU.

Layaknya tamu, kami saat itu menjelaskan maksud kedatangan kami ke sana, yaitu untuk mengajak mereka untuk melakukan penelitian tindakan kelas. Tahukah Anda bagaimana respon mereka ? Langsung saja respon para guru saat itu menampakkan rasa kekhawatirannya akan ajakan tersebut. Sebab selama ini apa yang mereka bayangkan tentang “penelitian” adalah suatu aktivitas yang melibatkan berbagai teori, metodologi dan hitungan statistika yang rumit dan membosankan. Dan kami saat itu mengajak mereka untuk melakukan PTK yang mungkin jangankan memahami apa itu PTK, mendengar saja mungkin baru saat itu. Sehingga spontan saja pertanyaan mereka yang pertama setelah kami berhasil menjelaskan bahwa dalam PTK tidak selalu memerlukan hitungan statistika rumit dan berbagai teori kependidikan yang mungkin belum pernah mereka pelajari adalah: “Apakah Pak yang dimaksud PTK ?” Saya jawab: “ saya tidak akan menjelaskannya sekarang, tapi akan saya jelaskan sedikit demi sedikit pada saat kita melakukan PTK itu sendiri” (Istilah kerennya: Learning by doing). Saat itu tampaknya mereka cukup pesimis, sebab seolah mereka diajak berjalan di dalam kegelapan. Tetapi setelah dijelaskan bahwa PTK itu tidak rumit maka mereka mulai menyanggupi ajakan kami tersebut.

Penjelasan pertama tentang konsep dasar PTK kami sampaikan pada saat kami (guru dan dosen) akan menulis proposal PTK. Karena saat itu PTK baru diperkenalkan kepada para guru untuk pertama kali, kami mencoba menggali masalah-masalah yang dihadapi oleh para guru selama melakukan proses pembelajaran. Meskipun demikian ternyata pada awalnya kami mendapat kesulitan untuk memunculkan masalah-masalah yang dihadapi mereka. Hal ini disebabkan oleh adanya sikap defensif dari mereka. Mereka cenderung untuk mengatakan tidak ada masalah dalam setiap proses pembelajaran. Tetapi setelah diajak bicara secara santai akhirnya mereka mulai menceritakan berbagai masalah yang biasa dihapi sehari-hari, mulai dari masalah sepele sampai masalah yang memerlukan penanganan serius melalui kegiatan penelitian yang berkesinambungan. Masalah-masalah tersebut akhirnya dapat diklasifikasi sebagai berikut: masalah yang berkaitan dengan input, dengan proses kegiatan belajar mengajar, dan dengan output. Pada awalnya kami tidak berusaha memberitahu para guru tentang masalah apa saja yang layak untuk diteliti melalui PTK. Tetapi dari diskusi yang berlangsung secara teratur 2 kali per minggu, kami dari pihak dosen mencoba mengklasifikasi  masalah itu seperti tersebut di atas.

Para guru sebenarnya sering menghadapi masalah dalam setiap pelaksanaan KBM-nya. Tetapi seringkali mereka kurang bisa mengidentifikasi sumber-sumber masalah tersebut. Akibatnya, sulit bagi mereka untuk merumuskan masalah-masalah untuk penelitian, sehingga akhirnya mereka enggan untuk melakukan penelitian. Oleh karena itu, ada baiknya bila dosen yang memiliki kemampuan mengidentifikasi sumber masalah bermitra dengan guru sekolah untuk melakukan PTK. Diharapkan melalui kegiatan PTK yang kolaboratif ini terjadi interaksi saling menguntungkan antara dosen LPTK dan guru. Namun demikian, kemitraan bisa juga dilaksanakan antara guru dengan guru lain yang bidang studinya baik sama ataupun tidak sama. Terlepas dengan siapa guru itu bermitra, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi sumber masalah dan kemudian mengklasifikasinya.

Salah satu masalah yang menarik perhatian kami saat itu adalah masalah yang berkaitan dengan implementasi metoda pembelajaran. Sehingga kami saat itu sepakat untuk konsetrasi pada masalah ini. Masalah yang akan kami selesaikan saat itu secara rinci berkaitan dengan: a. kemampuan membaca dan b. keterbacaan bahan ajar.
a.  Kemampuan membaca. Apa yang kami maksud dengan kemampuan membaca adalah kemampuan membaca konsep-konsep IPA-Fisika. Jadi bukan kemampuan membaca suatu naskah kemudian menyimaknya. Tetapi jauh lebih dalam dari itu. Jadi apa yang dimaksud kemampuan membaca disini adalah kemampuan memahami konsep-konsep IPA-Fisika dalam bentuk:
*  kemampuan menterjemahkan suatu persamaan sebuah konsep   kedalam bentuk narasi,
*   kemampuan menggunakan konsep-konsep dimaksud dalam bentuk hitungan,
*   kemampuan mengaplikaikan konsep-konsep itu,
*   kemampuan membaca kaitan antara konsep yang satu dengan konsep yang lain (peta konsep),
*   kemampuan membaca grafik,
*   kemampuan menterjemahkan grafik ke dalam bentuk konsep, serta
*  kemampuan membuat dan menganalisa sebuah grafik fungsi.
b. Keterbacaan bahan ajar. Apa yang kami maksud dengan keterbacaan bahan ajar adalah keterbacaan bahan ajar yang ditulis:
* dalam bentuk persamaan,
* dalam bentuk kalimat pendek,
* dalam bentuk kalimat panjang,
* dalam bentuk grafik,
* dalam bentuk data,
* dalam bentuk bagan/gambar, dan
* dalam bentuk penjelasan setiap persamaan.

Setelah kami sepakat dengan masalah penelitian yang akan kami teliti, langkah berikutnya adalah menyusun rencana penelitian (proposal).

Pada saat penyusunan proposal ini kami mulai menjelaskan apa PTK itu sesungguhnya. Kami mulai memperkenalkan pengertian PTK kepada para guru. Pertama, kami jelaskan PTK ini dengan mengutip salah satu definisi dari sebuah sumber yang ditulis oleh David Hopkins. Di dalam buku itu disebutkan bahwa PTK adalah: “a form of self-reflective inquiry undertaken by participants in a social (including educational) situation in order to improve the rationality and justice of (a) their own social or educational practices, (b) their understanding of these practices, and (c) the situations in which practices are carried out”.

Dari definisi tersebut di atas, dalam konteks kependidikan PTK mengandung pengertian bahwa PTK adalah sebuah bentuk kegiatan refleksi-diri yang dilakukan oleh para pelaku pendidikan dalam suatu situasi kependidikan untuk memperbaiki rasionalitas dan keadilan tentang (a) praktek-pratek kependidikan mereka, (b) pemahaman mereka tentang praktek-praktek tersebut, dan (c) situasi dimana praktek-praktek tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, PTK memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1.      Pengkajian masalah situasional dan kontektual pada perilaku seseorang atau kelompok orang. Artinya, solusi terhadap masalah-masalah yang digarap di dalam suatu kegiatan PTK tidak untuk digeneralisasi secara langsung. Jadi, setiap masalah yang muncul harus segera dicarikan solusinya untuk saat itu dan untuk kondisi dan konteks saat itu pula. Tidak harus menunggu suatu cara penyelesaian yang dapat berlaku umum di setiap situasi, kondisi, dan konteks. Namun demikian, tidak berarti bahwa PTK tidak dapat menemukan solusi yang bersifat general. Dari kegiatan PTK yang berkesinambungan dan terorganisasi dengan baik, maka pola solusi umum untuk beberapa masalah akan muncul atau nampak. Sehingga, generalisasi hasil suatu kegiatan PTK mungkin juga dicapai tetapi setelah melalui beberapa kegiatan PTK.

2.      Ada tindakan. Perbedaan yang mencolok antara PTK dengan penelitian-penelitian lainya adalah harus ada tindakan perbaikan yang dirancang untuk mengatasi masalah yang dihadapi saat itu dalam konteks dan situasi saat itu pula. Tindakan (action) ini benar-benar dimaksudkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi, bukan untuk mengembangkan atau menguji sebuah teori, dan juga tidak dimaksudkan untuk mencari solusi yang berlaku umum disetiap situasi dan kondisi. Jadi tidak perlu ada generalisasi hasil PTK.

3.      Penelaahan terhadap tindakan. Di samping adanya tindakan, dalam PTK tindakan yang dilakukan tadi harus ditelaah: kelebihan dan kekurangannya, pelaksanaannya, kesesuaiannya dengan tujuan semula, penyimpangan yang terjadi selama pelaksanaan, dan argumen-argumen yang muncul selama pelaksaan. Telaahan terhadap tindakan ini dilakukan pada saat observasi.

4.      Pengkajian dampak tindakan.  Dampak dari tindakan yang dilakukan harus di kaji apakah sesuai dengan tujuan, apakah memberi dampak positif lain yang tidak diduga sebelumnya, atau bahkan menimbulkan dampak negatif yang merugikan peserta didik.

5.      Dilakukan secara kolaboratif. Mengingat kompleksitas pelaksanaan suatu PTK, maka ada baiknya jika PTK ini dilaksanakan secara kolaborasi. Kolaborasi dapat dilaksanakan antara guru dengan dosen LPTK, antara guru dengan guru lain yang bidang studinya baik sama ataupun tidak sama, atau bahkan antara guru dengan siswa.

6.      Refleksi. Kegiatan penting lainnya dalam suatu PTK adalah adanya refleksi. Dalam refleksi ini ada banyak hal yang harus dilakukan, yaitu mulai dari mengevaluasi tindakan sampai dengan memutuskan apakah masalah itu tuntas atau perlu tindakan lain dalam siklus berikutnya. Secara rinci penjelasan mengenai refleksi dalam PTK, saat itu kami sampaikan pada saat kami melaksanakan PTK. Arti sederhana dari kata refleksi adalah merenungkan apa yang sudah kita kerjakan baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Namun pada saat kami melaksanakan kegiatan PTK, kami menjelaskan arti refleksi dengan  mengatakan bahwa sesungguhnya para guru sudah sering melakukan refleksi. Sebagai contoh refleksi yang sering dilakukan guru adalah pada saat seorang guru mengeluhkan tingkah laku negatif seorang siswa atau sekelompok siswa di dalam kelas kepada guru (guru-guru) lainnya. Guru tersebut mungkin langsung memperoleh tanggapan langsung dari guru (guru-guru) lain itu, atau mungkin guru lain itu sama sekali tidak merespon keluhan tersebut. Muncul tidaknya tanggapan itu mungkin disebabkan oleh beberapa kemungkinan, seperti: bagi guru lain yang memberi tanggapan mungkin keluhan itu juga dirasakan oleh guru lain itu sehingga mungkin muncul diskusi tentang keluhan negatif itu. Tetapi kemungkinan lain untuk guru yang memberi tanggapan itu adalah justru keluhan itu tidak pernah dirasakan oleh mereka sehingga keadaan seperti ini memunculkan rasa penasaran pada guru yang memiliki keluhan tadi. Mungkin ia bertanya pada dirinya sendiri, mengapa ia memiliki keluhan itu, sedangkan guru lain tidak. Dari sini guru itu mulai bertanya-tanya ada apa gerangan dengan dirinya. Jangan-jangan ia mengajar kurang baik, atau jangan-jangan ia penampilannya kurang disukai, atau jangan-jangan siswa merasa bosan dengan pelajaran yang ia ajarkan, atau jangan-jangan para siswa merasa kurang tertarik kepada pelajaran itu, atau jangan-jangan.........., atau jangan-jangan........ dst. Nah pada saat guru itu mulai menelaah ulang apa yang terjadi di dalam kelas, misalnya, maka kita katakan bahwa guru itu sedang melakukan refleksi. Refleksi adalah merupakan salah satu fase (tahap) penting di dalak PTK. Sebab dalam refleksi itu ada banyak kegiatan penting, seperti

      merenungkan kembali mengenai kekuatan dan kelemahan dari tindakan yang telah dilakukan.

      menjawab tentang penyebab situasi dan kondisi yang terjadi selama pelaksanaan tindakan

      memperkirakan solusi atas keluhan yang muncul.

      mengidentifikasi kendala/ancaman yang mungkin dihadapi.

      memperkirakan akibat dan implikasi dari tindakan yang direncanakan.


Kegiatan refleksi itu terdiri atas 4 komponen kegiatan, yaitu: analisis data hasil observasi, pemaknaan data hasil analisa, penjelasan hasil analisa, dan penyimpulan apakah masalah itu selesai/teratasi atau tidak. Jika teratasi berapa persen yang teratasi dan berapa persen yang belum. Jika ada yang belum teratasi, apakah perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya atau tidak. Jadi dalam refleksi akan ditentukan apakah penelitian itu berhenti di situ atau terus.


Sebelum kami mulai melakukan kegiatan PTK terlebih dahulu kami juga jelaskan prinsip-prinsip PTK. Pada awalnya para guru mengira bahwa kami saat itu memerlukan waktu khusus untuk penelitian. Di samping itu, mereka juga mengira kalau PTK yang akan kami laksanakan itu merupakan kegiatan tambahan, sehingga ada kekhawatiran mengganggu tugas mengajar mereka. Dan yang paling sulit disadari oleh mereka saat itu adalah bahwa masalah yang akan kami garap adalah sesungguhnya masalah mereka. Hal ini mungkin para guru itu masih mengganggap bahwa kami masih sebagai dosen mereka dan sebagai pemilik masalah penelitian. Tetapi setelah kami jelaskan tentang prinsip-prinsip PTK yaitu: tidak mengganggu komitmen mengajar, tidak menuntut waktu khusus, dan masalah itu harus merupakan masalah yang dihadapi guru, barulah mereka merasa nampak lega.

Terakhir kami coba simpulkan perbedaan antara PTK dengan penelitian-penelitian yang selama ini sering dilakukan. Untuk memudahkan, penelitian-penelitian yang selama ini sering dilakukan kami sebut saja penelitian formal. Perbedaan antara PTK dengan penelitian Formal adalah sebagai berikut:

Sebaiknya PTK dilakukan secara kemitraan (kolaborasi) baik antara guru dangan guru maupun antara guru dengan dosen.

Prinsip kemitraan adalah berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Ide penelitian sebaiknya muncul dari para guru. Jadi tidak harus dosen menggurui guru, dan sebaliknya tidak perlu guru menempatkan diri sebagai bawahan.
Dosen memang memiliki beberapa kelebihan dalam hal teori, tetapi guru juga memiliki kelebihan dalam hal praktek di lapangan. Guru lebih mengetahui karakter kelasnya, dan dosen mengetahui banyak teori kependidikan.



Sebaiknya, masalah yang diteliti harus muncul dari guru itu sendiri, sebab guru yang mengetahui situasi dan kondisi siswa dan kelasnya sehari-hari. Di samping itu, masalah ini harus merupakan masalah yang biasa dihadapi guru.




Macam sumber masalah.
Pertama, masalah yang berkaitan dengan input dapat bersumber dari: siswa, guru, sumber belajar, materi pelajaran, prosedur evaluasi, dan lingkungan belajar. Kedua, masalah yang berkaitan dengan proses kegiat
an belajar mengajar dapat bersumber dari: Interaksi belajar-mengajar, keterampilan bertanya guru/siswa, gaya mengajar, cara belajar, dan implementasi metode pembelajaran. Dan terakhir, masalah yang berkaitan dengan output dapat bersumber dari: hasil belajar siswa, daya ingat siswa, sikap negatif siswa, dan motivasi rendah.









































PTK memiliki ciri sebagai berikut:

1.      Pengkajian masalah situasional dan kontektual pada perilaku seseorang atau kelompok orang,

2.      Ada tindakan,

3.      Penelaahan terhadap tindakan,

4.      Pengkajian dampak tindakan,

5.      Dilakukan secara kolaboratif,

6.      Refleksi.


Ciri PTK tersebut di atas sering dinyatakan dalam bentuk sebuah spiral yang sering disebut spiral PTK, seperti ditunjukkan dalam Gambar 1.

































Gambar 1. Spiral PTK.

Spiral PTK itu sesungguhnya melukiskan siklus demi siklus dalam PTK. Satu siklus terdiri atas 3 komponen PTK, yaitu rencana, tindakan/ observasi, dan refleksi. Dalam Gambar 1 di atas ditunjukan 3 siklus.


PTK memiliki karakteristik sebagai berikut:

1.      Permasalahan sehari-hari di kelas.

2.      Kontekstual.

3.      Kolaboratif (partisipatori).

4.      Luwes.

5.      Situasional dan spesifik.


Arti sederhana dari kata refleksi adalah merenungkan apa yang sudah kita kerjakan baik di dalam kelas maupun di luar kelas.


Kegiatan refleksi itu terdiri atas 4 komponen kegiatan, yaitu: analisis data hasil observasi, pemaknaan data hasil analisa, penjelasan hasil analisa, dan penyimpulan apakah masalah itu selesai/teratasi atau tidak.


 



























 

PRINSIP-PRINSIP PTK

1.      Tidak mengganggu komitmen mengajar.

2.      Tidak menuntut waktu khusus.

3.      Masalah yang diteliti harus merupakan masalah yang dihadapi oleh guru.







Penelitian Formal

PTK

§         Dilakukan oleh orang dari luar.

§         Dilakukan oleh gur/dosen sendiri.

Lebih formal/hirau akan syarat-syarat:

§         Sampel harus representatif

Kurang formal/hirau pada syarat-syarat:

§         Ukuran/kerepresentatifan sampel tak dihiraukan.

§         Instrumen harus dikembangkan sehingga valid & reliabel

§         Pengembangan instrumen yang valid dan reliabel tak dilakukan.

§         Menuntut penggunaan analisis statistik

§         Tak digunakan analisis statistik yang rumit

§         Mempersyaratkan hipotesis.

§         Tidak selalu menggunakan hipotesis (kecuali yang berkaitan dengan uji teori)

Tujuannya

§         Mengembangkan pengetahuan umum (teori)

§         Tidak langsung memperbaiki praktik pembelajaran, tetapi melalui RDD.

Tujuannya

§         Memperbaiki praktik pembelajaran secara langsung.

 

Rabu, 04 Agustus 2010

Peran Pemerintah Daerah dalam Iplementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan ke Hadhirat Tuhan Yang Maha Esa, Karena atas Taufik dan Hidayah-Nya jualah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami mengharapkan dengan makalah ini, para guru dan kepala sekolah menjadi lebih mudah untuk mengerti dan memahami prinsip-prinsip manajemen sekolah, terutama yang berkaitan dengan peran pemerintah daerah tingkat II dalam pengelolaan Manajemen Berbasis Sekolah.
Namun, kami menyadari makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu kami berharap kepada para pembaca, khususnya stakeholders yang terlibat dalam manajemen Sekolah Dasar, untuk memberikan masukan berupa kritikan dan saran bagi perbaikan makalah ini pada masa yang akan datang.
Akhirnya, kami mengharapkan pula. Semoga makalah ini dapat mencapai maksud dan tujuan yakni dapat memberikan sekelumit sumbangan berharga bagi proses pengelolaan pendidikan terutama bagi Sekolah Dasar.



Wassalam


BAB I
PENDAHULUAN

Model MBS di Indonesia muncul akibat perubahan politik dan krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis sosial politik yang berdampak kepada perubahan dalam manajemen pendidikan, di samping perlunya peningkatan mutu pendidikan yang sampai saat ini masih kurang menggairahkan. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan memberdayakan sekolah dengan memberikan kewenangan (delegation of authority) kepada sekolah untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas secara berkelanjutan (quality continuous improvement). Manajemen sekolah ini sebagai hasil perubahan politik bertujuan pula untuk meredesain pengelolaan sekolah dengan mengubah sistem pengambilan keputusan yang semula menjadi wewenang tingkat pusat dipindahkan otonominya ke tingkat sekolah.
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di negara kita tidak seluruh masalah pendidikan menjadi wewenang dan tanggung jawab sekolah, namun terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan sekolah dalam mengelola pendidikan. Di negara kita, MBS tidak diartikan sebagai otonomi penuh sekolah karena terdapat visi dan misi yang perlu dipertahankan untuk menjadi persatuan dan kesatuan, termasuk standar mutu pendidikan.
Pembagian kekuasaan ini mutlak dilaksanakan mengingat wilayah nagara kita yang luas dan beragam, aneka ragam golongan dan lingkungan (sosial, budaya, agama, ras, etnik, serta bahasa), besarnya jumlah dan banyaknya jenis populasi pendidikan yang tumbuh sesuai dengan perkembangan ekonomi, iptek, dan sosial budaya yang cepat dan dinamis menuntut penanganan segala persoalan secara cepat, tepat, dan dinamis.
Sistem berbagi kekuasaan (power sharing) antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pengelolaan sekolah perlu ditata secara rapi. Dalam hal ini aturan-aturan dalam manajemen pendidikan perlu ditinjau kembali. Perlu dilakukan perubahan yang sangat mendasar terhadap paradigma pembinaan sekolah. Paradigma input-output-production fungction (dengan input yang baik secara otomatis mutu output akan baik) maka dengan MBS, sekolah dipandang sebagai suatu unit manajemen yang utuh dan memerlukan perlakukan khusus dalam upaya pengembangannya. Perlakuan khusus ini akan berbeda untuk setiap sekolah. Itulah hal yang melandasi keyakinan bahwa pengambilan keputusan dalam merancang dan mengelola pendidikan seharusnya dilakukan di tingkat sekolah. Prioritas alokasi sumber-sumber daya dan kebijakan pemerintah harus dilakukan oleh pengelola di tingkat sekolah. Namun demikian, sekolah tidak memiliki kapasitas untuk berjalan sendiri tanpa menghiraukan kebijakan, prioritas, dan standardisasi yang diamanatkan pemerintah dan telah ditentukan secara demokratis atau politis (Tim Teknis BPPN bekerja sama dengan Bank Dunia, 1995).


BAB II
PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM IMPLEMENTASI MBS

A.      Pembagian Kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan pengalihan dalam pengambilan keputusan dari tingkat pusat ke tingkat sekolah. Pemberian kewenangan dalam pengambilan keputusan dipandang sebagai otonomi di tingkat sekolah dalam pemberdayaan sumber-sumber sehingga sekolah mampu secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, memanfaatkan, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan (akuntabilitas) setiap kegiatannya kepada setiap yang berkepentingan (stakeholders).
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang merupakan terjemahan School Based Management adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk merancang kembali pengelolaan sekolah dengan memberikan kewenangan kepada sekolah dan meningkatkan partipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. Hal ini sebagai wujud reformasi pendidikan yang menginginkan adanya perubahan dari kondisi yang kurang baik menuju kondisi yang lebih baik. Penempatan kewenangan kepada sekolah dan masyarakat untuk menghindari format sentralisasi dan birokratisasi yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi manajemen sekolah. Pergeseran penempatan kewenangan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari pembagian kekuasaan antar pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, perlu penataan yang hati-hati, tersistem, berlandaskan semangat kerja sama, dan konsistensi dalam menjalankan kewajiban, kewenangan, dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Perumusan visi dan strategi nasional pendidikan, kurikulum nasional, publikasi buku-buku pelajaran tertentu, dan pertanggung jawaban dalam mutu edukatif merupakan kewajiban pemerintah pusat. Sementara itu Pemerintah Daerah (Pemda), diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan pembinaan sumber daya manusia (SDM) termasuk kepala sekolah dan guru, mengatur rekruitmen, pengangkatan dan penempatan, pengembangan karier, pemindahan kompensasi, kenaikan pangkat, dan pemberhentian guru/kepala sekolah.
Konsekuensi logis dari adanya limpahan kewenangan tersebut adalah Pemda juga harus diberi kewenangan dalam mencari, mempergunakan, dan menyediakan fasilitas yang diperlukan. Di samping itu, Pemda berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan kegiatannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

B.    Partisipasi Pemerintah Daerah dalam MBS
Sehubungan dengan kondisi birokrasi dan kondisi persekolahan di Indonesia saat ini, peran Pemerintah Daerah dalam implementasi MBS bagi sekolah-sekolah saat ini sangat besar. Persiapan strategi penerapan konsep Manajemen Berbasis Sekolah harus dilakukan dengan bertahap. Persiapan ini sebagai realisasi kebijakan desentralisasi di bidang pendidikan memerlukan perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai aspek seperti aspek keuangan, aspek ketenagaan, aspek sarana dan prasarana sekolah, aspek kurikulum dan materi, aspek pengujian, serta aspek partisipasi masyarakat.
Tahapan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah meliputi beberapa aspek antara lain :
1.        Aspek keuangan
a.        Tahap pertama
Keuangan atau dana dari pemerintah yaitu berasal dari anggaran rutin pemerintah. Penetapan alokasi anggaran di tingkat pemerintah daerah propinsi (Dati I) berdasarkan alokasi besaran dari pemerintah pusat.
Dana bantuan dalam Block Grant  yaitu dana dari anggaran pembangunan untuk bantuan operasional sekolah, pengadaan gedung, dan pengadaan laboratorium untuk tingkat SD diberikan oleh Pemda Tingkat I, sedangkan tingkat SLTP diberikan oleh pemerintah pusat. Dana Block Grant diberikan langsung ke sekolah. Bantuan pemerintah untuk sekolah swasta disesuaikan dengan kemampuan pemerintah.
Dana dari orang tua atau masyarakat masih ada yang diwajibkan membayar ke sekolah.
b.        Tahap kedua
Penentuan alokasi di tingkat pemerintah kabupaten (Dati II) berdasarkan alokasi besaran dari pemerintah pusat (khusus gaji tenaga kependidikan).
Dana anggaran pembangunan untuk bantuan operasional sekolah, pengadaan gedung, dan pengadaan laboratorium semuanya diberikan dalam bentuk Block Grant yang diterimakan secara langsung ke sekolah-sekolah. Sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola anggaran tersebut dengan sepengetahuan Dewan Sekolah. Pengelolaan dana ini juga akan diikuti dengan sistem pengawasan yang intensif. Bantuan Block Grant untuk sekolah swasta disesuaikan dengan kemampuan negara.
Ada kesepakatan secara demokratis antara orang tua dan sekolah apabila orang tua  dikenakan suatu biaya untuk anaknya. Sedangkan sumbangan sukarela tergantung ketersediaan sumber daya di masyarakat. Keberadaan dana ini sangat berbeda antara satu sekolah dengan lainnya. Bahkan, sekolah dengan kemampuan manajemen rendah, mungkin sekali tidak memiliki sumber dana ini. Pengelolaan dana ini harus sepengetahuan Dewan Sekolah.
c.        Tahap ketiga
Dana keuangan diberikan dalam bentuk Block Grant pemerintah Dati II. Pemerintah Daerah Tingkat II mengalokasikan ke sekolah sesuai dengan jumlah guru dan kepangkatan guru.
Dana anggaran pembangunan untuk bantuan operasional sekolah, pengadaan gedung, dan pengadaan laboratorium semuanya diberikan dalam bentuk Block Grant yang diterimakan secara langsung ke sekolah-sekolah. Sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola anggaran tersebut dengan kontrol dari Dewan Sekolah. Pengelolaan dana ini juga akan diikuti dengan sistem pengawasan yang intensif. Sekolah dengan kemampuan manajemen rendah memperoleh dana lebih besar dari sekolah dengan kemampuan manajemen sedang, dan sekolah dengan kemampuan manajemen sedang menerima dana lebih besar dari sekolah berkemampuan manajemen tinggi. Bantuan Block Grant untuk sekolah swasta semakin meningkat disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.
Ada kesepakatan secara demokratis antara orang tua dan dewan sekolah apabila orang tua dikenakan suatu biaya untuk anaknya. Sedangkan sumbangan sukarela tergantung ketersediaan sumber daya di masyarakat. Keberadaan dana ini sangat berbeda antara satu sekolah dengan lainnya. Bahkan, sekolah dengan kemampuan manajemen rendah, mungkin sekali tidak memiliki sumber dana ini. Pengelolaan dana ini harus sepengetahuan Dewan Sekolah dan disertai pengawasan dari pengawas yang ditentukan oleh pemerintah daerah      tingkat II.

2.        Aspek ketenagaan
a.        Tahap pertama
Sejumlah kepala sekolah dipilih dari semua katagori sekolah di tingkat pendidikan dasar untuk mengikuti pelatihan tentang prinsip-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan pengelolaan keuangan sekolah dengan prinsip MBS yang dilakukan secara bertahap untuk menjaring sebanyak mungkin kepala sekolah.
Di tingkat SD, guru diseleksi dan diangkat oleh pemerintah daerah tingkat I (Dati I). Untuk guru SLTP diseleksi oleh pemerintah pusat sedangkan pengangkatan dan penempatan dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat I (Dati I). Penempatan guru disesuaikan dengan kebutuhan sekolah dan diberlakukan insentif dan disinsentif terhadap sekolah yang memiliki kelebihan dan kekurangan guru. Guru memperoleh insentif sesuai dengan prestasinya. Guru wajib menguasai prinsip-prinsip MBS.
Pengawas dan Kepala Dinas diberikan pelatihan tentang prinsip-prinsip MBS, profesionalisasi pengawas/pimpinan dan staf Dinas Pendidikan.
b.        Tahap kedua
Kepala sekolah yang belum menerima pelatihan akan dilatih tentang prinsip-prinsip dasar MBS dan bagi kepala sekolah yang sudah dilatih akan diberikan pelatihan lanjutan. Kepala sekolah memiliki keleluasaan dalam mengatur sekolah, antara lain mengatur dana, mengisi kurikulum lokal jika sekolah tersebut mampu.
Seleksi guru SD dan SLTP dilaksanakan oleh pemerintah daerah tingkat I, sedangkan pengangkatan dan penempatan dilaksanakan oleh pemerintah daerah tingkat II. Pemilihan guru SD maupun SLTP didasarkan pada kompetensi.
Pengawas dan Kepala Dinas diberikan pelatihan lanjutan tentang prinsip-prinsip MBS, profesionalisasi pengawas/ pimpinan dan staf Dinas Pendidikan.
c.        Tahap ketiga
Ada kewenangan yang luas bagi kepala sekolah dalam rangka kebijakan nasional. Pemilihan kepala sekolah dilakukan ole Dewan Sekolah (School Council) dengan memepertimbangkan kompetensinya yakni meliputi keterampilan, pengalaman, kepemimpinan, kemampuan dalam menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi, dan bersipat proaktif.
Seleksi, pengangkatan, dan penempatan dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat II berdasarkan kompetensi. Penempatan guru sesuai dengan kebutuhan sekolah. Insentif dan disensitif diberlakukan terhadap sekolah yang memiliki kelebihan dan kekurangan guru. Guru memperoleh insentif sesuai dengan prestasinya dan guru wajib menguasai prinsip-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Pengawas dan Kepala Dinas diberikan pelatihan lanjutan tentang prinsip-prinsip MBS, profesionalisasi pengawas/ pimpinan dan staf Dinas Pendidikan.

3.        Aspek sarana dan prasarana sekolah.
a.        Tahap pertama
Pada tahap ini, identifikasi, penataan ulang, pengadaan sarana dan prasarana sekolah sepenuhnya dikelola oleh pemerintah daerah tingkat II.
b.        Tahap kedua
Pengadaan sarana dan prasarana di tingkat sekolah.
c.        Tahap ketiga
Pengadaan sarana dan prasarana di tingkat sekolah.

4.        Aspek kurikulum dan materi
a.        Tahap pertama
Kurikulum dan materi pembelajaran disusun di tingkat pusat sebesar 80%, sedangkan 20% diserahkan ke daerah dalam bentuk kurikulum lokal.
b.        Tahap kedua
Kurikulum inti (80%) disusun dipusat untuk dilaksanakan di seluruh Indonesia. Sekolah memiliki kelenturan dalam mengalokasikan waktu belajar. Sekolah boleh menambah atau mengurangi jam mata pelajaran tertentu. Kurikulum muatan lokal (20%) disusun ditingkat sekolah berdasarkan potensi lingkungan setempat atau disediakan oleh pemerintah daerah tingkat II bagi sekolah yang tidak mampu menyusun sendiri. Isi kurikulum bervariasi antara satu sekolah dengan sekolah yang lain.
c.        Tahap ketiga
Kurikulum inti (standar kompetensi minimal) disusun pemerintah pusat dalam rangka menjaga kualitas pendidikan dan kesatuan bangsa untuk dilaksanakan di seluruh Indonesia. Waktu belajar boleh ditambah, namun tidak boleh dikurangi. Pedoman Kurikulum Efektif (termasuk muatan lokal) disusun ditingkat pusat sedangkan materinya ditentukan/dipilih pemerintah daerah tingkat II atau di tingkat sekolah dengan mempertimbangkan kondisi setempat. Waktu belajarnya boleh dikurangi untuk menambah waktu pelaksanaan kurikulum inti.

5.        Aspek partisipasi masyarakat
a.        Tahap pertama
Masyarakat diberi pemahaman mengenai prinsip-prinsip MBS melalui sosialisi menggunakan media massa dan forum lainnya. Bentuk partisifasi masyarakat melalui BP3.
b.        Tahap kedua
Partisipasi masyarakat masih berbentuk BP3 namun fungsinya bertambah yakni ikut menyusun kurikulum lokal bersama sekolah, mengawasi penggunaan dana sekolah dan dana dari masyarakat.
c.        Tahap ketiga
Pada tahap ini, bentuk partisipasi berupa suatu komite atau dewan sekolah. Anggotanya terdiri atas tokoh masyarakat, seseorang yang memiliki keahlian tertentu, kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan dinas pendidikan kabupaten, perwakilan orang tua siswa, dan dunia usaha. Tugas dewan sekolah ini antara lain memilih kepala sekolah, mengorganisasikan sumbangan dari orang tua dan masyarakat, mengawasi keuangan sekolah, ikut menyusun dan memilih kurikulum dan bahan ajar, membantu dan mengawasi proses belajar mengajar.

 Dari uraian tahap pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah dalam berbagai aspek tersebut di atas, dapat diketahui peran serta pemerintah daerah tingkat II untuk memberdayakan sekolah dalam rangka implementasi MBS. Dalam berbagai aspek, partisipasi pemerintah pusat semakin diperkecil sejalan dengan tahapan implementasi manajemen sekolah. Namun sebaliknya, partisipasi pemerintah daerah semakin diperbesar. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang menempatkan sekolah sebagai suatu institusi pendidikan yang mandiri.


BAB III
KESIMPULAN

Pengelolaan Sekolah Dasar (SD) berdasarkan pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Management (SBM) merupakan bentuk alternatif model pengelolaan di bidang pendidikan yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dituntut memiliki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintah yang harus dilaksanakan secara bertahap.
Tingkat kemampuan manajemen sekolah untuk melaksanakan MBS berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Adanya perbedaan kemampuan manajemen sekolah yang perlu dibedakan dalam perlakuan berimplikasi terhadap dukungan pemerintah agar sekolah yang bersangkutan dapat menerapkan sistem baru. Dengan pertimbangan perbedaan kemampuan sekolah tersebut maka kewajiban dan kewenangan sekolah terhadap pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat berbeda antara sekolah yang satu dengan yang lain.
Pemerintah daerah berkewajiban melakukan upaya-upaya pemberdayaan bagi sekolah yang berkemampuan manajemen kurang, untuk mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Namun demikian untuk jangka panjang, Manajemen Berbasis Sekolah akan sangat ditentukan oleh kemampuan manajemen sekolah dalam menyusun rencana/program, pelaksanaan, dan evaluasinya.


DAFTAR PUSTAKA


Disdik Prop. Kalsel. (2006).Konsep MBS dan Strategi Pelaksanaannya. Makalah disajikan dalam sosialisasi SPM,MBS, dan Kebijakan Sekolah Dasar, BTKPPKB Banjarbaru,19-22 September.

Fattah, Nanang. Ali, H. Mohammad. (2008). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta. Universitas Terbuka.

Hernawan, Asep Herry. (2006). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta. Universitas Terbuka.



TERIMA KASIH